Hot News
16 November 2018

Filsafat Marcus Aurelius dalam Etika Hari Ini


oleh: Ryan Aldi Nugraha

suarakuningan.com -
Marcus Aurelius, seorang Kaisar Romawi yang lahir pada tanggal 26 April 121M adalah kaisar terakhir dalam Dinasti Lima Kaisar Baik, setelah Nerva, Trajanus, Hadrianus, dan Antoninus Pius. Nama terakhir adalah paman Marcus Aurelius. Di usia 40 tahun, setelah wafatnya Antoninus Pius, dia memegang tampuk kuasa sebagai Kaisar Romawi selama kurun waktu 19 tahun (161-180M).

Cara kepemimpinan beliau mengantarkan pada kesuksesan tak lepas dari bagaimana pemikiran beliau tentang kepemimpinan. Baliau adalah penganut aliran stoikisme yang berpijak pada logika, fisika dan etika. Khusus dalam etika lebih menekankan sikap apatheia (kontrol diri) dan dimensi internal manusia sebagai representasi jati diri.

Untuk menggali bagaimana memperoleh sikap apatheia, manusia selaku bagian dari semesta, menurut Marcus Aurelius ada beberapa prinsip yang perlu kita implentasikan dalam hidup. (Faiz, 2018)

Prinsip yang pertama adalah tentang kehidupan. Menurutnya, kita harus jalani hidup sebagaimana fungsi bagian dari semesta. Namun hidup kita memiliki durasi, sifat manusia selalu berubah, persepsi kita yang terbatas, tubuh kita semakin melemah, jiwa kita kadangkala kebingungan, keberuntungan adalah suatu hal yang sulit ditebak, popularitas tak memiliki kepastian, dan alam memiliki rumus hukum yang mengontrol seluruh semesta.

Marcus Aurelius meyakini bahwa manusia akan menemui kematian, hal ini diperkuat dengan ciri penganut stoikisme yang percaya adanya pengaruh kuasa Tuhan (logos universal). Prinsip pertama ini sebagai zat imun penyakit etika hari ini. Menjadi seseorang yang viral dengan cara yang tak bermoral; hoax, melawan guru, pergaulan bebas hingga bertindak ekstrim yang membahayakan diri.

Padahal, popularitas tak memiliki kepastian jangka waktu, lebih-lebih mencari popularitas dengan menghalalkan segala cara. Fenomena paling unik adalah ketika tes CPNS di salah satu daerah yang pesertanya diketahui membawa jimat sebagai keberuntungan. Tindakan ini sangat kontradiktif dengan apa yang dikatakan Tan Malaka dalam mahakarya nya Madilog tentang logika mistik, bahwa kepercayaan pada hal mistis berlawanan dengan common sense (pikiran sehat) dan sulit diraba.

Prinsip yang kedua adalah bagaimana menafsirkan rasa sakit. Marcus menganggap bahwa rasa sakit yang datang dari luar diri kita tidak memiliki impact apapun. Jika kita tersakiti oleh orang lain, sebenarnya bukan oranglain yang menyakiti kita melainkan kita sendiri yang mau menampung rasa sakit dalam diri. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus pencemaran nama baik yang melibatkan publik figur.

Saling maki melalui unggahan status yang muaranya saling lapor ke meja hijau, merasa tersakiti. Sangat disayangkan tindakan tersebut diikuti oleh generasi milenial; mengunggah status derita demi mengharap iba. Miris. Prinsip ini secara implisit mengandung sikap kontrol diri, bahwa sejatinya manusia diciptakan dalam keadaan yang fitrah.

Selanjutnya adalah prinsip tentang kebaikan. Prinsip ini menurutnya adalah cara tentang bagaimana menjaga harmoni. Namun dalam konteks hari ini, kita masih terbelenggu dalam perdebatan -apakah dia orang baik-. Jadilah orang baik dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Jauh panggang dari api, di tahun politik ini ada saja orang yang berpura-pura baik dan hanya 5 tahun sekali, itupun demi meraup suara agar mendapat kursi dan memimpin negeri. Sudah 5 tahun sekali, pura-pura lagi. Tabik!

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 comments:

  1. It’s absolutely awesome article, as a beginner, it helped me a lot to understand more. Thank you great

    BalasHapus

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Filsafat Marcus Aurelius dalam Etika Hari Ini Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan