Hot News
30 November 2025

Interpretasi Sinematik tentang Warisan dan Pergulatan Identitas Budaya dalam Film "Sakral"

 
Oleh AR Affandi

Setelah berjaya di Festival Film Pendek TVRI Jabar 2024 dengan meraih penghargaan Penata Artistik Terpilih (Andri Supriatna), Sutradara dan Penulis Skenario Terpilih (AR Affandi), Nominasi Aktris Terbaik (Melika Rahmawati), Nominasi Penata Kamera Terbaik (Adam Firdaus Tauhid), Nominasi Editor Terbaik (Ryan Nurfajar Apriansyah), serta Best Music Film (Deni Atmadja), kabar bahwa SAKRAL kembali mendapatkan Jury Special Mention di Sahasrakarya Award – Kotabaru Heritage Film Festival 2025, dari 158 film yang bersaing, bukan hanya menjadi kebahagiaan personal. Ia adalah pengakuan bahwa suara-suara kecil dari desa, dari pinggiran, masih bisa menggema di panggung nasional. 
 
 

 
Festival ini, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta pada 7–9 Agustus 2025, memberi saya ruang untuk berbicara tentang sebuah warisan yang rapuh, namun membebani—Cingcowong.

Bagi saya, SAKRAL bukan film yang sekadar “mengabadikan” ritual tradisi. Ia adalah sebuah pertanyaan panjang yang saya ajukan pada diri sendiri: apakah kita, generasi yang hidup di bawah bayang-bayang gawai dan cuaca digital, masih sanggup memanggul warisan leluhur yang sering kali datang dalam bentuk beban sakral? Ataukah kita akan menyerahkannya kepada museum dan arsip, sambil mengucap “selamat jalan” kepada ingatan yang pernah hidup?
 
 

 
Ritual Cingcowong, yang menjadi inti cerita SAKRAL, adalah sebuah prosesi pemanggil hujan di Luragung Landeuh, Kabupaten Kuningan. Ia hanya boleh dijalankan oleh seorang Punduh—pemimpin ritual—yang berasal dari garis keturunan tertentu. Kesakralan ini, di satu sisi, memberi bobot spiritual dan martabat bagi ritual tersebut. 

Namun di sisi lain, ia membatasi regenerasi. Ketika garis darah itu terputus atau pewarisnya menolak, tradisi ini menghadapi ancaman punah.

Dalam SAKRAL, tokoh ASIH adalah perwujudan dari benturan dua dunia: dunia yang dibangun oleh takdir leluhur, dan dunia yang diwarnai logika modern. Ia anak muda yang lebih percaya pada ramalan cuaca di ponsel ketimbang mantra yang diwariskan turun-temurun. Konfliknya bukan sekadar soal percaya atau tidak percaya, tetapi soal hak untuk memilih jalan hidup tanpa mengkhianati akar budaya.

Sebagai sutradara, saya memilih untuk tidak menghadirkan SAKRAL sebagai dokumenter adat. Saya membangunnya dalam lapisan-lapisan mimpi, mitos, dan kenyataan yang saling menyusup. Penonton diajak masuk ke ruang psikis ASIH, di mana suara leluhur bergema seperti bisikan, boneka Cingcowong bergerak di ambang mimpi, dan batas antara ritual serta halusinasi menjadi kabur. Visualnya sengaja saya hadirkan dengan atmosfer pekat, kontras cahaya tajam, dan ritme sunyi yang sesekali dipecah ledakan emosi.

Bagi saya, sinema adalah cara untuk menafsirkan kembali warisan budaya, bukan sekadar merekamnya. SAKRAL mencoba memaknai Cingcowong bukan sebagai barang pusaka yang harus disimpan apa adanya, tetapi sebagai ide hidup yang bisa diinterpretasi ulang. 

Tradisi hanya akan bertahan jika ia mampu berdialog dengan zaman, bukan jika ia membangun benteng eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh segelintir orang.
Penghargaan ini bukan akhir perjalanan. Ia adalah pengingat bahwa di tengah gelombang globalisasi, cerita-cerita seperti SAKRAL perlu terus disuarakan. Tidak untuk mengagungkan masa lalu secara buta, tetapi untuk memeriksa bagaimana masa lalu itu membentuk, membatasi, atau justru mengilhami identitas kita hari ini.

Saya percaya, warisan budaya adalah cermin. Dan seperti semua cermin, ia tidak selalu memantulkan wajah yang ingin kita lihat. Terkadang, ia menunjukkan bayangan-bayangan yang mengganggu, yang membuat kita bertanya: Apakah ini benar-benar milikku? Atau sekadar warisan yang diwariskan tanpa persetujuan?

Lewat SAKRAL, saya ingin penonton menyelami pertanyaan-pertanyaan itu. Karena di balik mantra hujan dan tarian tradisi, yang sesungguhnya kita bicarakan adalah hak atas identitas, hak untuk memilih, dan keberanian untuk menafsirkan ulang makna sakral dalam hidup kita.

Dan mungkin, di sanalah letak harapan: bahwa tradisi dan modernitas tidak harus saling meniadakan, melainkan bisa saling menghidupi—asal kita berani membuka dialog di antara keduanya.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Interpretasi Sinematik tentang Warisan dan Pergulatan Identitas Budaya dalam Film "Sakral" Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan