Hot News
20 Oktober 2022

Merenungkan Masa Depan Pariwisata di Era Virtual Reality



Era digital telah merasuki sendi-sendi hidup manusia dewasa ini. Kita mulai “mengunjungi” berbagai tempat, site, melalui monitor dengan beberapa “klik”, lantas kemudian terhubung dengan tempat, misalnya, wisata yang kita kehendaki. Kita dapat melihatnya, meski dengan pembingkaian (enframing), dengan pembatasan area visual. Selalu ada keterbatasan dalam program dalam upaya menghadirkan (replika) realitas. Distorsi tidak dapat dihindari, dan secara evolutif, hanya diminimalisasi sampai suatu hari nanti mungkin dapat mengikis batasan-batasan antara lingkungan konkret dengan lingkungan artifisial.

            Bila dalam era digital kita dapat “mengunjungi” suatu objek wisata, kita bisa melihatnya dan kadang-kadang mendengarnya. Namun, ada keterbatasan dalam informasi audio-visual itu. Sudut pandang yang terberi kepada subjek sekadar sudut pandang yang kaku, terbatas, rigid. Namun dalam upaya melenturkan rigiditas itu, beberapa perangkat yang tengah dikembangkan seperti sebuah prototipe bernama Sensorama pada, yang dikembangkan oleh Heilig pada tahun 1962. Perangkat ini digunakan dalam pertunjukan teater, yang disebut “teater pengalaman”, yang menghadirkan sensasi realitas yang lengkap—mulai dari penglihatan, suara, bau, dan sentuhan. Dalam bab visual, misalnya, pada tahun 1979 Eric Howlett telah mengembangkan alat Large Expanse, Extra Perspective (LEEP). Melalui alat ini, gambar stereoskopik dengan cakupan pandang yang luas dapat menghadirkan kesan ruang yang lebih meyakinkan. Untuk stimulan peraba, dikenal sesuatu dengan nama sistem haptic.

            Kita barangkali akan bertemu pada suatu momen di mana sinergitas antarperangkat tersebut tersusun secara solid dan proporsional, sehingga mampu menghadirkan suatu realitas virtual (baru) yang tak lagi tampak sebagai lingkungan artifisial. Sebuah duplikasi yang mendekati “accurrate representation of reality”. Lingkungan virtual itu dapat, barangkali, 99,9% persis, presisi, identik dengan dunia yang kita kenal. Namun meski demikian, tetap akan hadir suatu tembok yang menghalangi akses pada pengalaman subjek. Kita tidak “masuk” ke dunia-sana sebagai subjek hidup, yang “memukimi” ruang tiga dimensi beserta beragam komponen sensasi-indrawi yang hendak dihadirkan. Meski demikian, upaya-upaya pengembangan fitur penyusun sistem besar yang diupayakan mereplikasi sepenuhnya—atau sekonkret mungkin—“fitur alami” di dunia konkret membuat distingsi antara lingkungan virtual dan lingkungan konkret menjadi mepet, menjadi kabur.

            Ketika momentum itu terjadi, maka sepenuhnya kita akan hidup dalam—meminjam kata-kata Baudrillard—suatu simulacrum, suatu simulasi dalam kehidupan. Simulasi ini tidak lagi terbatas dalam konteks perseptual semata, melainkan juga fisikal. Artinya, momentum eksperiensial dapat dialami dengan “darah dan daging”, dengan tubuh. Dunia virtual kini menubuh (embodied) pada realitas konkret. Dunia virtual semakin sulit dibedakan dengan dunia nyata.

            Maka pada gilirannya, dekorporealisasi semacam ini akan menghantarkan kita pada suatu pertanyaan baru mengenai kepariwisataan: Apa makna tourism, apabila ruang, waktu, jarak, tak lagi eksis? Pembelokkan makna “perjalanan” yang sebelumnya dijiwai melalui transportasi dan materi yang bergerak barangkali beralih pada “pengembaraan melintasi belantara informasi”.

            Tubuh konkret direplikasi dengan avatar, dengan sistem algoritsmis, menjadi “aku” yang nyaris melampaui representasi. “Aku digital” perlahan menjadi denotasi dari “aku aktual”. Variabel waktu dalam tiap proses transportasi, proses travel, menjadi beku, lantas menguap dan melipat-mampatkan diri. Waktu sebagai kronometer tak lagi memiliki otoritas atas perpindahan tubuh—yang telah diwakili oleh semacam “metarepresentasi” kita melalui avatar dalam dunia virtual, yang barangkali nanti akan lebih akrab kita sebut dengan nama metaverse.

            Kita dapat mengunjungi tempat wisata dengan metarepresentasi itu, serta merengkuh beragam “sensasi aktual” dalam arti sebenarnya—meski distimulasi oleh data semata—meski tubuh organis kita terbaring kaku seperti mayat di rumah. Dunia menjadi dilipat oleh sistem yang dengan heroik nan gigantis, mencoba menciptakan semesta baru dengan hukum-hukumnya sendiri yang terbebas dari hukum alam dunia nyata.

 

(27 September 2022)

 

 

BIODATA PENULIS

 

Candrika Adhiyasa, menulis puisi, novel, cerita pendek, esai. Meminati filsafat (khususnya eksistensialisme dan fenomenologi) dan cultural studies. Pernah belajar ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Instagram @candrimen

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Merenungkan Masa Depan Pariwisata di Era Virtual Reality Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan