Ina Agustiani, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
SUARAKUNINGAN (SK)
Baru-baru ini langkah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau sering disapa KDM menjelaskan arahannya untuk menghapus dana hibah keagamaan. Bukan karena ia antiagama, tetapi ingin mempraktikan hal-hal yang bertentangan dengan agama. Menurutnya bantuan hanya diberikan kepada itu-itu saja alias segelintir orang. Dana yang disalurkan tidak merata, terbukti yayasan di Kabupaten Garut menerima Rp300 miliar-500miliar, bahkan satu yayasan tembus Rp5 miliar. KDM mengira bantuan tidak merata karena yayasan yang ada punya akses politik ke gubernur, bagi yang tidak punya, maka tidak ada bantuan hibah.
KDM memangkas dana hibah pesantren tahun 2025 dari Rp153 miliar menjadi Rp9,25 miliar, dan diperuntukkan untuk dua lembaga yaitu LPTQ Jabar sebesar Rp9 miliar dan Yayasan Mathlaul Ciaruten Bogor Rp250 juta. Dan setelahnya akan dilakukan pembenahan manajemen tata kelola dana hibah. Sambil dilakukan penyesuaian terhadap anggaran yang harus diefisiensi.
Respon berbeda ditujukan oleh Zaini Shofari anggota DPRD Jabar dari fraksi PPP agar gubernur memperhatikan aturan yang berlaku. Zaini menilai kebijakan ini adalah kelalaian karena tidak memperhatikan kedudukan pesantren yang punya dasar hukum kuat dari tingkat daerah maupun nasional. Termaktub dalam Perda Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitas Penyelenggaraan Pondok Pesantren dan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021, tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren. Zaini berharap dana ini tidak ditarik seluruhnya tetapi hanya dibenahi dan diluruskan saja, tinggal koreksi dan perbaikan.
Berbalut Bisnis
Pesantren perlahan mulai kehilangan jati diri sebagai pencetak para ulama faqih fiddin, karena dibebankan dengan program peningkatan ekonomi sebagai jalan untuk keberlangsungan hidup. Salah satu program Kemenag adalah bantuan inkubasi pesantren sejak 2022, menargetkan 500 paket proposal inkubasi pesantren untuk pemberian bantuan dan pendampingan.
Kategorinya pesantren yang belum punya unit usaha, sudah punya unit usaha dengan pengembangan maksimal Rp250 juta, kemudian pesantren yang memiliki unit usaha maksimal Rp500 juta da Rp600 juta, cairnya bantuan senilai dengan nilai diatas. Dengan begitu program One Pesantren One Product (OPOP) berjalan lancar, bisnis berbasis pesantren partnership dengan swasta. Kemandirian pesantren sesuai harapan mewujudkan 5.000 pesantren mandiri secara ekonomi. Pesantren tak lagi dipandang sebelah mata dan ada kontribusi untuk negara.
Namun benarkah pesantren makin kuat dan berdaya? Cengkraman kapitalisme yang begitu kuat dimana semua dinilai berdasarkan nilai ekonomi, telah menggeser peran pendidikan. Begitu pun peran dan fungsi pesantren sebagai institusi pencetak pewaris nabi. Dahulu pekerjaan dan sesuatu yang berhubungan dengan uang bukan menjadi masalah besar bagi para alumni pesantren. Motivasi belajar pun murni untuk mengembangkan ilmu bukan jabatan keduniaan.
Pesantren secara mandiri bisa menentukan bahan ajar sesuai kebutuhan tanpa ada intervensi dari yang lain, tetapi dengan adanya dana hibah disertai terbit UU Pesantren, adanya usaha bergesernya orientasi visi misi. Berbagai bantuan bukan tidak mungkin akan menghilangkan kemandirian dalam jalan perjuangan, semisal disetir menentukan bahan ajar, lulusan disesuaikan dengan pengusung dana, dan lainnya.
Program Santripreneur, OPOP dan Magang Santri yang digagas BUMN bersama sejumlah perguruan tinggi akan meningkatkan kualitas SDM, berkontribusi membawa Indonesia menuju negara maju dan berani menghadapi tantangan digital, itulah cita-cita Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno dan Menteri BUMN Erick Tohir di masa Jokowi sebagai Peta Jalan Kemandirian Pesantren oleh Menteri Agama.
Dan memang pembajakan potensi pesantren untuk pertumbuhan ekonomi adalah gagalnya sistem kapitalis untuk memberi kesejahteraan pada masyarakat dari negara. Jelas program pemberdayaan ekonomi santri di lingkungan pesantren adalah pengaburan potensi dan jati diri santri dari kemuliaan ilmu pada perjuangan Islam Kaaffah.
Solusi Islam
Islam punya konsep kepemilikan untuk menentukan kekayaan Sumber Daya Alam, semisal barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, sungai, laut, hutan ini adalah kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai individu atau swasta. Dilarang untuk diprivatisasi, menjadikan negara punya pemasukan untuk menyejahterakan rakyatnya. Termasuk dana pesantren untuk kesejahteraan santri dan segala yang mendukung imprastrukturnya.
Karena tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk generasi berkualitas, berakhlak baik, memegang akidah secara kuat. Negara tak membebani santri untuk mencari uang, karena tugas santri adalah untuk belajar, justru negara akan mengusahakan untuk membuka lapangan kerja secara holistik, bukan yang mengusahakan itu individu seperti yang saat ini dilakukan.
Negara mengelola harta kepemilikan umum dengan bersama pos yang lain, dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat tanpa ada kepentingan pribadi atau golongannya. Pertumbuhan ekonomi dikejar dengan mengelola sumber-sumbernya seperti pertanian, industri, jasa, perdagangan jadi aktivitas ekonomi rill, sehingga lapangan kerja terbuka lebar. Tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan primer rakyat mulai dari sandang, pangan, papan, lalu kebutuhan pendidikan, keamanan dan kesehatan.
Rakyat tidak akan dibebani sebagai penopang ekonomi utama negara, karena negara mau bertanggung jawab dalam membangun ekonomi menuju kemandirian, kedaulatan, dan kekuatan ekonomi dengan mekanisme Islam.
Sejarah mencatat pada masa kejayaan Islam terdapat lembaga pendidikan yang terus berkembang hingga berabad-abad lamanya dan menjadi poros cabang ilmu bagi dunia. Diantaranya Nizhamiyah (1067—1401) di Baghdad; Al-Azhar (975 —sekarang) di Mesir; Al-Qarawiyyin (859—sekarang) di Fez, Maroko; dan Sankore (989—sekarang) di Timbuktu, Mali, Afrika. Dengan sistem dan kurikulum yang sudah maju saat itu, serta bisa melahirkan tokoh berpengaruh dan ilmuan muslim seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Al-Firdausi.
Keberadaan ulama yang tafaquh fiddin bertebaran dimana-mana, jumlahnya banyak untuk menjaga kemuliaan Islam dan menebar rahmat, tanpa intervensi karena kucuran dana yang membuat mereka para pewaris nabi ada kecenderungan untuk mempolitisasi segelintir kepentingan pribadi rezim. Wallahu A’lam.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.