Hot News
30 November 2019

Mengeja Kedalaman Batin Lilis Saidah dalam “Di Tepian Telaga Berkabut Keraguan”

Resensi Buku
oleh: Drs. Dodo Suwondo, MSi ( FB. Hyang Purwa Galuh )


Judul buku      : Di Tepian Telaga Berkabut Kerguan
Pengarang       : Lilis Saidah
Penerbit          : Guneman
Tahun terbit    : Cetakan I, Oktober 2019
Tebal buku     : 106 hlm.
           

Puisi tidak terlepas dari kepiawaian seorang penyair yang menciptakannya. Kepiawaian penyair tersebut dalam mengolah gagasan dan olah diksi tentu akan menghasilkan puisi atau syair-syair yang indah dan bermakna. Untaian kata dalam ruang bait, larik, dan persajakan menjadikan puisi sebagai karya yang artistik dan unik. Demikian dengan syair atau puisi yang dilahirkan dari para maestro yang kita kenal. Karya mereka tidak diragukan akan keindahan dan semangat yang ada dalam setiap puisi yang dihasilkannya.

Demikian pula dengan Lilis Saidah, seorang penulis yang mencoba menjelajahi ruang sastra dengan salah satu karyanya berbentuk antologi puisi. Ia melahirkan Di Tepian Telaga Berkabut Kerguan yang isinya merupakan ekspresi jiwa dalam perasaan yang menghinggapinya.

Buku yang berjudul Di Tepian Telaga Berkabut Kerguan ini hadir sebagai bentuk kerinduan kepada ketenangan dan kenyamanan hidup. Seperti dalam sajak Kulepas Pelukmu Dalam Impian
...
Jiwa merana batin nelangsa
Kulepas satu-satu
Impian indah
Kutetap di sini
...  (Lilis Saidah, 2019 : 1).

Perasaan Jiwa merana yang berdampak pada batin nelangsa asalah suatu bukti bahwa penyair sedang menggambarkan suasana batinnya. Entah apa yang ada dibenaknya yang sebenarnya. Namun demikian, ada usaha penyair untuk menguasai seluruh perasaan itu dengan Kulepas satu-satu. Hal itu demi tergapainya kebahagiaan dalam Impian indah. Sekalipun demikian dia sama sekali tidak berusaha untuk mengubah keadaannya. Akan tetapi dengan berdiam diri─Kutetap di sini.

Sejatinya sebuah puisi adalah merupakan gambaran batiniah setelah penulisnya meliha, mendengar, adan atau merasakan sesuatu, lalu ia menumpahkannya dalam bentuk untaian kata-kata, yang tugas berikutnya adalah menentukan diksi. Penentuan diksi merupakan selera penulis itu sendiri, atau pula berkaitan dengan pengetahuan penulis dalam perbendaharaan kata. Hal ini pun berkaitan dengan seringnya penulis bersandar pada alasan kebebasan penulisan puisi.

Bagi penulis pemula biasanya sering mengalami kegamangan dalam mencurahkan idenya. Ada perasaan was-was jika semuanya ditulis jujur. Demikian Lilis Saidah ketika mengalami perasaan jenuh terhadap guyuran hujan yang tiada henti, namun untuk mengutarakannya seolah takut dengan anugrah Tuhan, karena hujan sejatinya adalah anugrah Tuhan.


Dalam Pesona Sang Banyu penulis menggambarkan
Hujan cepatlah berhenti
Aku lelah menunggumu berlalu
Malah semakin deras untaian mutiaramu
Memperlihatkan keelokanmu
... (Lilis Saidah, 2019 : 11).

Dalam bait tersebut Lilis Saidah mencoba memainkan perasaannya. Pada Hujan cepatlah berhenti dia mengungkapkan perasaan bosan dengan air sehingga memintanya untuk segera berhenti─Aku lelah menunggumu berlalu. Namun pada larik berikutnya dia meralat perasaan nehatif itu dengan menyanjungnya dengan mutiara sebagai persamaan dengan butiran air, Malah semakin deras untaian mutiaramu ungkapnya, bahkan dia menyebutnya elok─Memperlihatkan keelokanmu. Betapa ini tidak kontradiksi? Bagaimana mungkin kita kan bosan dan jenuh dengan mutiara, terlebih sangat indah (elok)? Ini semua merupakan olah perasaan yang beretika, karena sebelumnya Lilis mengungkapkan kejenuhan dan kekesalannya dengan hujan yang terus-menerus tanpa henti.

Lalu bagaimana dengan Di Tepian Telaga Berkabut Kerguan? Lilis mengungkapkannya seperti berikut:

Malam
Sunyi tak berbintang
Sang bayu mengiringi semakin dingin
Merambah rasa terguggah

Menerawang ke masa yang lalu
Mengapa begitu cepat berlalu
Berkecamuk dalam dada
Bergelora merasuk sukma

Entahlah apa yang dirasa
Terpesona oleh kenangan semu
Menari-nari dalam memori
Pedih ... perih

Melihat sosokmu penuh daya pikat
Membelenggu ikatan relung hati
Mampukah bertahan dalam keraguan
Samar

Jangan goyah jangan terpikat
Meski sepenuh hati tergores luka
Cerminan retak, ah entahlah
Kau semakin memikat tali kasih kerinduan

Membelenggu jiwa nan merana
Harus kuat bertahan dalam kesendirian
Dan kesunyian
Di sini menanti yang tak pasti titik tak bertepi
Selamat malam cinta

Di tepi telaga ku menanti dalam keraguan
Adakah seberkas kasih datang untukku?
Menyapaku dalam keheningan
Entahlah ... (Lilis Saidah, 2019 : 63).

Lagi-lagi Lilis membuat ungkapan dengan loncatan yang sangat menukik. Melalui judul─Di Tepian Telaga Berkabut Kerguan ia lambangkan suatu tempat dengan telaga, dan tempat itu belum tentu telaga─bisa saja tepi ranjang, sudut rumah, atau sebuah taman. Lilis mencoba memikat pembaca dengan lukisan suasana batin dan keadaan sesosok tokoh yang hendak ia kabarkan. Siapakah tokoh itu? Yang tahu hanyalah penulis. Yang jelas Lilis mengabarkannya tentang malam yang sunyi dan gelap─tanpa cahaya apa pun. Lebih dari itu dingin karena hembusan angin. Di sini pula Lilis mendobrak kelaziman, terlihat pada diksi mengiringi, pada Sang bayu mengiringi semakin dingin, yang idealnya berhembus; Sang bayu berhembus semakin dingin. Lalu bait tersebut ditutup dengan Merambah rasa terguggah. Lalu apa yang merambah rasa, anginkah? Dan, apa yang tergugah? Tentu sesuatu yang sudah lama tersimpan, dan tiba-tiba ingat, dan itu semua dilukiskan pada bait kedua sampai lima.

Di bait keempat rasa tergoda oleh seseorang muncul dan semakin mengisi lamunannya─Melihat sosokmu penuh daya pikat. Ada ikatan yang terbelenggu─Membelenggu ikatan relung hati, padahal ikatan adalah belenggu pula, dan relung tak mungkin diikat. Dalam Mampukah bertahan dalam keraguan ternyata tokoh tersebut sedang tergoda oleh seseorang yang sudah lama terlupakan, yang pernah menghiasi hatinya. Sehingga dia samar antara bertahan dan menyerah.

Bait lima kebingungan dan kegamangan semakin nampak, larik Jangan goyah jangan terpikat, menyiratkan antara yang menyadarkan dan pikiran yang mengajak untuk mengikuti ungkapan batin yang mengajaknya mengobati luka yang tergambar dalam Meski sepenuh hati tergores luka. Jika ikut kata hati maka sudah barang tentu Cerminan retak, ah entahlah─yang sudah barang tentu dapat meretakkan rumah tangga yang sudah lama terbina. Akan tetapi gambaran keretakan rumah tangga terbantahkan oleh bait 6, tentang Membelenggu jiwa nan merana. Kenapa merana? Benarkah ia (sang tokoh) hidup sendiri─Harus kuat bertahan dalam kesendirian? Sehingga ia membayangkannyya sebuah tempat untuk menenangkan dirinya, berharap bayangan jadi kenyataan─Di tepi telaga ku menanti dalam keraguan─walaupun terhinggap pula perasaan ragu. Adakah seberkas kasih datang untukku? yang dapat memberi hiburan kepadanya─Menyapaku dalam keheningan.

Terlihat jelas bagaimana Lilis Saidah mempermainkan perasaan batin dalam puisinya. Emosi kejiwaan yang ada dalam setiap bait, dalam semua judul yang tertulis merupakan sebuah kejujuran, keluguan, dan sebuah hantaman emosional yang tercipta dan dicipta. Itu semua ibarat kumpulan peristiwa yang dialaminya, atau pula setumpuk angan-angan yang belum dan tidak tercapaikan. Dengan puisi-puisi itu kita dapat melihat bagaimana Lilis Saidah berbicara, dan bergumam, menyampaikan kejujuran batinnya sebagaimana peristiwa kesehariannya. Pada buku ini curahan batin merupakan ciri khas Lilis Saidah, setelah ia mendapatkan ilham dari hasil lihat, dengar dan rasakan.

Demikian pula dalam kebahasaan. Cara Lilis Saidah mengolah diksi seringkali seperti terjun bebas, seperti misalnya dalam Penantian Tak Bertepi (hal. 24), pada bait pertama termaknakan seperti mengiba, nelangsa. Akan tetapi tiba-tiba di bait ke-2 Lilis meningkatkan nadanya dengan Dahsyatnya gejolak penantian (hal. 24) yang kita semua tahu bahwa kata dahsyat bermakna sesuatu yang menggelegar, bersuara keras, dan bertenaga.

Dalam Kau Gores Luka Lama (hal. 32), bait ke-1, larik 1 dan 2 menggambarkan ketidakberdayaan─Kabut menyelimuti dan Jiwa rapuh tak berdaya (hal. 32) yang idealnya seperti lumpuh, tak bisa bergerak, namun pada larik berikutnya─Melayang bagai awan berarak lalu Menggelayut di atas tak peduli (hal. 32). Padahal berada di ketinggian seperti melayang bukan berarti tidak berdaya. Demikian pula menggelayut, karena menggelayut adalah merupakan keadaan suatu benda, dan jika mahluk hidup tentu saja membutuhkan ketrampilan tertentu. 

Buku ini bisa menjadi pembanding bagi mereka yang menyukai sastra puisi. Dengan buku ini kita bisa melihat, menyelami, dan mengenang bagaimana dan pesan apa yang tercipta dari seorang Lilis Saidah, dan apa pula pesan yang hendak disampaikannya.

*****

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Mengeja Kedalaman Batin Lilis Saidah dalam “Di Tepian Telaga Berkabut Keraguan” Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan