Hot News
5 April 2020

Keagungan Syariat Islam dalam Perspektif Covid-19


Menurut catatan Gugus Tugas Penanganan Percepatan Covid-19, jumlah total kasus dunia per 4 April 2020 sudah mencapai 976.249 kasus. Total korban yang meninggal sebanyak 54.489 orang. Adapun di Indonesia jumlah kasus yang terdata sebanyak 2.092 kasus, meninggal 191 orang. (covid19.go.id).

Jumlah penderita sepertinya akan terus meningkat seperti yang disampaikan oleh Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. Ia mengatakan, berdasarkan data dari Badan Intelijen Negara (BIN), penyebaran virus corona di Tanah Air akan mengalami puncaknya pada Juli 2020 (Haryanti Puspa Sari, Kompas.com - 03/04/2020, 05:02 WIB). Lalu apa hikmah di balik pandemi Covid-19 jika dikaitkan dengan syariat Islam?.

Allah SWT menciptakan segala sesuatu memiliki tujuan. Setiap apa yang terjadi pada diri manusia dan alam semesta, baik berupa nikmat maupun bencana pasti mengandung hikmah yang patut kita ambil pelajaran.

Sebagian melihat pandemi Covid-19 sebagai bencana, sebagian lainnya melihat sebagai anugerah yang mengandung banyak hikmah. Pada saat ini, masyarakat begitu memperhatikan perilaku-perilaku positif dan dianjurkan untuk dilakukan saat menghadapi pandemi ini. Di mana perilaku tersebut, hakikatnya telah disyariatkan dalam Islam tetapi masih banyak yang belum menyadari dan mengamalkannya. Syariat tersebut diantaranya adalah:

1. Thaharah (Bersuci)
Di antara yang menjadi perhatian saat ini dalam usaha mencegah terjadinya penularan Covid-19, kita diingatkan dan dianjurkan  untuk selalu menjaga kebersihan diri, seperti mencuci tangan setelah kita menyentuh benda-benda yang dicurigai menjadi perantara tersebarnya penyakit dengan cara menyela-nyela jari, membasuhnya dengan sabun dan air mengalir. Selain mencuci tangan, para ahli kesehatan pun menganjurkan kita untuk mandi setelah berada di luar rumah sebelum kita berinteraksi dengan anggota keluarga di rumah.
Sejak 1.400 tahun yang lalu, Islam mengajarkan kita bagaimana cara mencuci tangan dengan baik,  sekurang-kurang lima kali sehari dengan cara berwudlu.  Dengan berwudlu, tidak hanya tangan yang dibersihkan, tapi anggota tubuh lainnya juga turut dibersihkan. Di antara sunnah wudlu adalah dengan menyela-nyela jari tangan dan kaki (Abu Syuja, al-Taqrib: 04). Hukumnya sunnah jika air bisa masuk ke dalam celah di antara sela-sela jari tangan atau kaki, namun menjadi wajib jika tanpanya air tidak dapat masuk ke dalamnya. (Abi Abdullah Al-Ghazi, Fath Al-Qarib: 35)
Selain berwudlu, Islam juga menempatkan kegiatan mandi sebagai hal yang penting dalam beribadah. Dalam keadaan tertentu seorang hamba tidak dapat dianggap sah ibadahnya kecuali jika ia telah melaksanakan mandi. Contohnya seperti mandi junub yang memiliki tatacara tersendiri yang harus dilakukan agar ia sempurna. Sebagaimana dalam hadits, Aisyah berkata: “Bahwa nabi SAW jika beliau mandi dari keadaan junub, ia mulai dengan membasuh kedua tangan, lalu berwudlu seperti halnya shalat, lalu memasukan jari-jarinya kedalam air kemudian menyela-nyela kulit pangkal rambutnya lalu ia alirkan air ke kepalanya tiga kali dengan kedua tangannya sebagai gayung, lalu ia basuhkan air keseluruh kulit badannya”. (HR.Bukhari  No.272 dan Muslim No.316/Musthafa Daib al-Bagha, Al-Tadzhib: 26). Dan di antara syarat sahnya mandi adalah teralirkannya air keseluruh tubuh secara paripurna, sehingga tidak ada celah sadikitpun yang tidak tersentuh air. (Abi Abdullah Al-Ghazi, Fath Al-Qarib: 42-43). Jika tidak sampai syaratnya, maka ibadah seperti shalat tidak dapat dilaksanakan, sedangkan shalat adalah ibadah utama dalam Islam. (Abu Syuja, Ghayah al-Taqrib: 08).

2. Menutup Aurat
Masih hangat dalam ingatan, pada tanggal 1 februari, saat jutaan muslimah merayakan dan meramaikan hari hijab sedunia, sebagian kelompok lain malah berkampanye “No Hijab Day”. Miris, bukan?  Pun, di negara lain seperti Prancis yang melarang penggunaan hijab dan cadar di area publik, hanya karena alasan keamanan dan sosial.
Namun saat pandemi Covid-19 datang, setiap orang berbondong-bondong menutup auratnya. Bukan karena diperintahkan oleh Allah tetapi khawatir terpapar virus Corona. Bahkan headline news di salah satu media massa Prancis, tertulis bahwa wanita yang memakai pakaian tertutup dan cadar memiliki potensi resiko lebih kecil terpapar virus Corona.
Islam memerintahkan para wanita untuk menutup auratnya. Para ulama pun bersepakat bahwa menutup aurat bagi perempuan hukumnya wajib. Yang berbeda hanyalah
pendapat terkait sebagian tubuh yang menjadi pengecualian, seperti bagian wajah  dan telapak tangan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tangan dan wajah bukan termasuk aurat. Namun para ulama sepakat,  jika saat memperlihatkan wajah akan menimbulkan fitnah, maka menutupnya menjadi suatu kewajiban. (Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah: 171-176)

3. Adab Bersalaman
Dalam Islam seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang untuk bersentuhan. Namun, dalam budaya tertentu seperti di Barat, hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan nilai kesopanan, seperti saat menolak ajakan berjabat tangan. Berbeda saat muncul Covid-19, mendadak setiap orang memilih untuk tidak menjabat tangan satu sama lain. Perilaku tersebut dilakukan tidak hanya oleh masyarakat biasa namun juga dilakukan oleh para pembesar negara. Setiap orang dipaksa untuk terbiasa tidak berjabat tangan karena alasan medis.

Para ulama sepakat bahwa hukum asal menjabat tangan seseorang yang bukan mahram adalah haram. Itu sesuai dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali (HR. Muslim no. 1866). Demikian pula hadist Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir 20: 211)

Untuk beberapa kondisi tertentu, para ulama memperbolehkan seseorang menjabat tangan yang bukan mahramnya. Seperti menjabat tangan seorang tua renta, yang sudah tidak berdaya dan tidak memiliki keinginan terhadap lawan jenisnya.  Namun demikian, para ulama sepakat jika hal tersebut menimbulkan fitnah, maka lebih utama untuk tidak dilakukan. Sebagian mengharamkan, sebagian memakruhkan. (Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh: 567).

4. Adab Bersin
Ramai informasi di televisi dan media sosial mengenai anjuran untuk menggunakan masker dan menutup mulut saat bersin. Virus Corona dapat menular melalui droplet atau percikan yang dikeluarkan oleh penderitanya saat batuk atau bersin. Nabi mulia kita, Muhammad SAW telah mencontohkan bagaimana adab ketika bersin. Saat bersin, hendaknya kita menutup mulutnya dengan tangan atau kain agar percikan dari mulut dan hidung tidak terhambur keluar.
Tujuannya untuk mencegah terjadinya penularan terhadap orang lain. Sebagaimana dalam sebuah hadits: “Bahwasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan suaranya.” (HR. Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205).

5. Rukhsah
Rukhsah adalah suatu keringanan yang diberikan kepada umat Islam dalam menjalankan ibadah saat menghadapi kesulitan dan kemadzaratan tertentu. Bahkan dalam sebuah kaidah fikih menegaskan bahwa setiap kesulitan akan memunculkan kemudahan, meski kemudahan itu tetap harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang telah dijelaskan oleh para ulama. Diantara penyebab diringankannya seseorang dalam beribadah adalah: 1) perjalanan; 2) sakit; 3) terpaksa; 4) lupa; 5) tidak memiliki pengetahuan; 6) kesulitan; 7) Marabahaya secara umum; 8) cacat. (Shalih al-Sadlan, al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra: 216).

Jika melihat delapan indikator di atas dan kondisi penyebaran virus Corona saat ini, sudah selayaknya umat muslim mendapatkan kemudahan dalam beribadah. Seperti tenaga kerja yang baru saja melakukan perjalanan dari negara yang terkena pandemi, ODP karena sakit flu, keadaan terpaksa karena darurat kesehatan, kondisi sulit karena fasilitas medis yang sangat terbatas dan belum ditemukan vaksinnya sehingga kemungkinan masyarakat terpapar sangat tinggi jika berada di kerumunan, dan lainnya. Kondisi-kondisi seperti di atas, sudah cukup untuk menjadi syarat mendapatkan rukhsah dalam melaksanakan ibadah.
Menanggapi status pandemi Covid-19 yang sudah masuk ke Indonesia,  MUI mengeluarkan fatwa dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai hal berlandaskan dalil-dalil syar'i (Al-quran dan hadits) serta dzaruriyyat al-khamsah, yaitu lima aspek kebutuhan yang harus dipenuhi dan dilindungi dalam Islam: 1) agama, 2) jiwa, 3) keturunan, 4)akal, dan 5) harta.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka sangat dimaklumi jika MUI kemudian  mengeluarkan fatwa terkait anjuran untuk tidak melaksanakan berbagai bentuk kegiatan keagamaan dan ibadah yang mengerahkan massa atau menimbulkan kerumunan massa, termasuk di dalamnya adalah ibadah shalat Jumat. Terkait ibadah shalat jum'at ini MUI menganjurkan untuk menggantinya dengan shalat dzuhur di rumah bagi yang berada di wilayah zona merah penyebaran virus.

6. Karantina dan Menjaga Jarak (Physical Distancing)
Tagar #DirumahAja menjadi trending topik di dunia maya, menyusul kebijakan pemerintah yang menghimbau warganya untuk tetap di rumah sebagai bentuk pencegahan tersebarnya virus Corona. Jika ia penderita infeksi virus Corona, maka orang lain akan selamat darinya. Jika ia sehat, maka ia akan selamat dari virus yang dibawa oleh orang lain.
Tidak banyak yang tahu bahwa kebijakan ini juga pernah diambil pada masa Rasulullah SAW. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid bahwa Nabi SAW  bersabda:  “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menguji hamba-hambaNya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR. Bukhari No. 3473, HR. Muslim No.2218).
Rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk melakukan karantina diri serta tidak memasuki wilayah endemik. Jika berada di wilayah endemik maka ia tidak diperkenankan keluar dari tempat tersebut, agar wabah tidak menyebar. Demikian Rasulullah pun pernah bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.”(HR.Bukhari No.5771). Demikian rasulullah memerintahkan untuk melakukan physical distancing atau jaga jarak secara fisik antara mereka yang sakit dan mereka yang tidak sakit.
Dalam beberapa riwayat Rasulullah memerintahkan sahabatnya untuk tinggal di dalam rumah, tidak melaksanakan shalat Jumat, saat cuaca dan kondisi alam tidak mendukung. Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas ia pernah berkata kepada muadzin:”...ucapkanlah: shalatlah dirumah kalian, karena Rasulullah pernah bersabda: “Shalat jum’at memang wajib, namun aku tidak suka jika harus membuat kalian kesulitan sehingga kalian harus berjalan di lumpur dan comberan.” (HR. Muslim No.699). Demikian Rasulullah sangat memerhatikan segala aspek dalam pelaksanaan ibadah, termasuk aspek kenyamanan para sahabat dalam beribadah, terlebih jika itu membahayakan nyawa.

Wallahu A’lam bis Shawab

Oleh Dr. Yadi Fahmi Arifudin, S.Si, M.Pd.I

Penulis adalah Kepala Prodi Jurusan Hukum Keluarga pada Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Husnul Khotimah

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Keagungan Syariat Islam dalam Perspektif Covid-19 Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan