Hot News
12 April 2016

Srikandi Kuningan itu Sosok Keibuan


Dalam kisah Mahabarata, yang lebih sering kita dengar adalah kisah Pandawa dan Kurawa. Kisah fenomenal perwujudan dari kebaikan dan keburukan ini menyimpan sesosok yang tangguh dan berwibawa. 

Bukan karena kekuatan ototnya, bukan pula karena kegarangannya, melainkan karena keseriusan akan sumpah dan pengabdiannya sebagai penanggungjawab keselamatan dan keamanan ksatria madukara dengan segala isinya. 

Sosok tersebut adalah Dewi Srikandi yang dalam perang Bharatayuddha tampil sebagai senapati perang pandawa menggantikan Resi Seta, Ksatria Wirata yang telah gugur menghadapi Bisma, Senapati Agung Balatentara Kurawa.

Sosok Srikandi yang banyak menginspirasi Perempuan-perempuan karena ketangguhannya. Namun, di masa sekarang tentu beda penjelmaan spirit Srikandi yang mewarnai kisah kehidupan perempuan khususnya di Indonesia. Banyak kisah-kisah perempuan masa kini yang menjadi inspirasi bagi yang lainnya, namun sedikit penulis akan menceritakan kisah perempuan terbaik yang lahir dari Kuningan.

Perempuan yang lahir di Bogor, 17 April 1952 ini, pada usia 50-60 tahun dengan setia mendampingi suami yang kala itu di percaya menjadi Bupati Kuningan dua periode berturut-turut (2003-2008, 2008-2013). Otomatis pada saat itu, beliau adalah ketua tim penggerak PKK Kabupaten Kuningan. Tidak banyak yang penulis dapat ceritakan terkait kiprahnya saat itu. 
Namun ada peristiwa yang masih penulis ingat, terjadi di akhir tahun 2011 saat beliau bersama suaminya (Bupati Kuningan) sedang mendampingi kunjungan Wagub Jawa Barat (Dede Yusuf) untuk melakukan panen raya di Desa Cidahu Kecamatan Pasawahan, Kuningan. Malamnya, setelah panen raya ada dialog bersama masyarakat. Dalam sesi dialog tersebut, beliau duduk di depan sejajar dengan narasumber (Wagub Jabar dan Bupati Kuningan). Kontan di sesi tanya jawab beberapa aparat desa dan masyarakat melontarkan beberapa pertanyaan yang sangat normatif dan cenderung memperjuangkan kepentingan pribadinya.

Saat sesi tanya jawab akan ditutup, seorang anak muda mengangkat tangan sambil berkata “terakhir”. Setelah diberi kesempatan, dengan nada yang cukup tinggi dan tegas pemuda tersebut memberikan kondisi kuningan secara singkat, jelas dan padat yang dilanjutkan dengan pertanyaan yang keras, dan cenderung menyudutkan kedua narasumber.

Menjelang akhir acara, beliau lekas berjalan ke belakang kerumunan dan menghampiri pemuda tersebut. Dengan lembut beliau menyapa, siapa namamu nak?... ini kuningan nak, berbicaralah yang sopan dengan nada yang lembut. Kalau ada keluhan atau kritikan sebaiknya disampaikan langsung ke kantor bapak (sambil beliau mengelus pundak pemuda tersebut) lantas berpamitan dengan tersenyum menuju rombongan. Merahlah wajah pemuda tersebut karena merasa malu dengan cara dan sikapnya berbicara.

Jalan hidup menghantarkan beliau untuk menggantikan suaminya memimpin Kuningan, pada Pilkada tahun 2013 beliau terpilih menjadi Bupati Kuningan masa bakti 2013-2018. Kala itu banyak yang berpendapat akan ada perubahan signifikan terutama sikap beliau. Dari seorang ibu, lantas menjadi Bupati. Kaku, emosional, terbawa perasaan dalam bersikap yang dikhawatirkan akan menjadi kelemahan beliau dalam memimpin. Maklum, di kota kuda ini belum ada sejarahnya Bupati seorang perempuan.

Seiring berjalannya waktu, pasca satu tahun kepemimpinan beliau ada hal menarik yang mungkin perlu menjadi contoh bagi pemimpin yang lainnya. Gaya berkomunikasi,  yang beliau gunakan tidak jauh berbeda semasa beliau masih menjadi istri Bupati.

Ada dua hal dari gaya berkomunikasi beliau yang menarik disimak, yang pertama saat berpidato (diatas panggung) dan saat menjadi audience (pendengar, penikmat). Kenapa dua sisi ini yang dikemukan, sebab ini berdasarkan pengamatan penulis saat beliau menghadiri acara-acara kepemudaan, ormas, atau kemahasiswaan yang tentunya penulis ikut didalamnya.

Yang pertama, saat beliau berpidato pada acara Pelantikan Dewan Pengurus Daerah KNPI Kabupaten Kuningan (9 Maret 2015). Pidatonya yang lantang dengan nada tegas, semangat menggebu-gebu, kata demi kata pun terucap dengan derasnya. Kebanyak audience terhipnotis dengan gaya berpidato seperti itu, menarik perhatian audience untuk serius mendengarkan apa yang disampaikan.

Memang kalau diperhatikan, ada perubahan yang signifikan cara berpidato beliau saat masih menjadi Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Kuningan dan saat menjadi Bupati Kuningan. Saya pun demikian, melihat adanya suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response) yang pakar komunikasi sebut dengan Teori Classical Conditioning (Pavlov dan Watson).

Tidak jarang banyak kata-kata yang meleset (keluar jalur) yang terucap dari pidato beliau, sehingga mengurangi makna dari isi pidato tersebut. Namun, tidak sedikit juga audience teralihkan perhatiannya dari kata demi kata yang terucap sebab adanya penyeimbang melalui retorika yang digunakan dan membuat audience masih sangat menikmati pidato yang disampaikan.

Kata kuncinya adalah tegas, semangat yang tinggi menggambarkan ketanggguhan yang jauh dari kesan lemah. Begitu sudah cara beliau berpidato pada acara-acara lainnya.

Justru yang sangat menarik ialah gaya berkomunikasi beliau saat menjadi audience. Saat selesai berpidato di acara pelantikan MPC Pemuda Pancasila (13 Januari 2016) beliau duduk kembali di barisan paling depan bersama ketua MPC Pemuda Pancasila Kuningan, dan jajaran dewan pembinan. Disitu nampak keseriusan menjadi pendengar, menikmati apa yang didengarnya, dan yang terpenting disitu beliau dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan audience lainnya.

Luwes, ceria namun tetap berwibawa, membuat audience lainnya berpendapat ini bunda kami. Tidak ada jarak, semua seakan dekat layaknya sebuah keluarga harmonis. Mungkin ini cocok disebut dengan teori humanisme, dimana lebih menitikberatkan pada perasaan. Dengan komunikasi seperti ini justru lebih membuat masyarakat sayang akan pemimpinnya.

Kekhawatiran banyak orang saat itu terbayar sudah dengan cara beliau memimpin. Kaku yang tercairkan, emosional yang terkelola dengan baik justru menjadi perekat dalam membangunan harmonisasi keluarga dengan satu juta lebih anggotanya. Bukan sekedar terbawa perasaan, justru beliau menikmati perasaan tersebut. Membaur dengan caranya, bersikap dengan gayanya, berkomunikasi dengan seadanya membuat beliau semakin menampakan karakter sejatinya. Karakter seorang perempuan dengan kelembutannya mampu memecahkan batu karang, dengan naluri keibuannya mampu merubah si anak nakal menjadi baik.

Kini, kita semua tidak bisa lagi merasakan langsung nasihatnya, tidak bisa lagi merasakan langsung semangatnya, tidak bisa lagi mendengarkan pesan-pesannya, tidak bisa lagi menikmati senyum cerianya. Beliau telah pergi untuk selamanya. Tapi semangat, nasihat, pesan-pesannya masih benar-benar membekas bagi kita semua. Seperti halnya sepenggal pesan beliau dalam buku berjudul Cikahuripan karya Drs. Toto Sudito “Wariskeun Mata Cai, Ulah Ngawariskeun Cai Mata” bermakna sangat dalam. Berikanlah kehidupan yang lebih baik untuk anak cucu kita, janganlah berikan penderitaan buat mereka.

Semoga hal-hal baik yang beliau contohkan, bisa menjadi inspirasi buat kita semua. Menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan Kuningan. Mungkin dari rahim beliau hanya terlahir lima putra-putrinya, namun dari torehan sejarah hidupnya bisa melahirkan banyak perempuan-perempuan hebat yang terlahir dari Kuningan. Beliau memang tidak lahir di Kuningan, tapi beliau terlahir dari Kuningan.

Selamat jalan Bunda Hj. Utje Choeriah Hamid Suganda, S.Sos, MAP, semoga amal ibadah semasa hidup diterima Allah SWT…Al Fatihah…Amin yaa robbal a’lamin.

AB Sudrajat.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Srikandi Kuningan itu Sosok Keibuan Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan