Hot News
3 Juli 2016

Saat Soekarno Menentukan Jalannya Sejarah Indonesia di Kuningan


oleh: Tendi Chaskey

Penulis adalah Orang Kuningan, Alumnus Intercultural Leadership Camp Programme, Victoria University of Wellington, New Zealand. Saat ini tengah menempuh Program Doktoral
 
suaraKuningan.com - Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia menggema ke seantero negeri pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi negara tidak lantas stabil dan bebas dari cengkeraman pemerintah kolonial Belanda. Unsur-unsur yang berasal dari kekuatan lama sebelum Perang Dunia II itu tetap menginginkan Indonesia seperti sedia kala, menjadi tanah jajahan dan koloni mereka. Rakyat dan pemerintahan Indonesia baru yang sudah tegak berdiri, dengan lantang dan berani menyatakan penolakannya terhadap keinginan dan rencana orang-orang Belanda tersebut.

Konflik yang didasari perbedaan kepentingan itu tentunya mengorbankan banyak hal, mulai dari kehilangan harta bahkan hingga kehilangan jiwa. Kedua belah pihak yang tengah berseteru, baik itu pihak Republik maupun pihak Belanda, tentunya menyadari hal ini dengan baik. Sehingga dalam perkembangannya, pertemuan antara orang Indonesia dan Belanda itu pun tidak melulu terjadi di medan laga dan perang namun juga terjadi di meja perundingan.

Salah satu perundingan penting yang menyangkut keberlangsungan bangsa ini terjadi di wilayah Linggajati Kuningan dan dikenal sebagai Perundingan Linggarjati. Perundingan tersebut tidak terjadi dalam satu waktu saja, melainkan dalam banyak kesempatan.

“Perundingan Linggarjati berlangsung sebanyak 11 kali, mulai dari tanggal 22 Oktober 1946 hingga 16 November 1946. Di mana perundingan pertama hingga keempat dan perundingan kesembilan hingga kesebelas dilaksanakan di Jakarta, sementara itu perundingan kelima sampai kedelapan terjadi di Kuningan,” tulis Rushdy Hoesein dalam Peran Khusus Soekarno-Hatta dalam Perundingan Indonesia-Belanda di Linggajati.

Perlu digarisbawahi disini bahwa meskipun perundingan tersebut diawali dan diakhiri di kota Jakarta, namun seluruh perjanjian tersebut tidak disebut sebagai Perundingan Jakarta dan tetap disebut sebagai Perundingan Linggarjati. Hal itu terjadi lantaran keputusan penting dari rangkaian perundingan tersebut disepakati di Linggajati Kuningan, dan bukan di kota lain manapun di Indonesia.

Dipilihnya Linggajati Kuningan sebagai tempat perundingan bukanlah tanpa alasan. Kota yang berada di lembah Ciremai itu dianggap sebagai tempat yang aman dan representatif bagi keselamatan kedua belah pihak. Pada masa itu, pemerintah Indonesia berpusat di Yogyakarta karena Jakarta sudah dikuasai oleh pihak Sekutu, dengan kelompok NICA (Nederlandsch Indiƫ Civil Administratie) yang memboncenginya. Hal itu membuat kedua kota menjadi tempat yang amat berbahaya bagi keselamatan lawan-lawannya.

Terkait hal ini, dalam buku A.B. Lapian dan P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati, Ali budiardjo mengungkapkan, “Soekarno-Hatta tidak mungkin ke Jakarta dan Delegasi Belanda sendiri tidak mungkin diizinkan oleh pemerintahannya untuk mengunjungi Yogyakarta. Oleh karena itu, atas saran Maria Ulfah yang merupakan puteri dari mantan Bupati Kuningan pada masa kolonial, perundingan dapat dilakukan di Linggajati Kuningan Jawa Barat.”

Selama perundingan berlangsung, para diplomat Indonesia tinggal di Linggajati dan Soekarno-Hatta tinggal di pendopo Kabupaten Kuningan. Sementara itu, semua delegasi Belanda, kecuali Schermerhorn dan Sander yang berani bermalam di Linggajati, menginap di kapal Banckert Belanda yang berlabuh di Cirebon. Banckert sendiri merupakan salah satu kapal motor penyapu ranjau yang dimiliki oleh Belanda.

Setelah hari pertama perundingan berlangsung pada 11 November 1946, malam harinya seluruh delegasi datang beriringan ke pusat kota Kabupaten Kuningan atas dasar undangan Presiden Soekarno. Pada malam resepsi tersebut, semua pihak merasa bahagia dan terhibur dengan adanya dua pertunjukkan tradisional Indonesia, yaitu pagelaran musik angklung dan tarian khas Indonesia. Selain itu, “masing-masing anggota perundingan yang hadir juga dipuaskan oleh pelbagai suguhan makanan khas Nusantara,” demikian rilis surat kabar Soeloeh Ra’jat terbitan tanggal 13 November 1946 dalam sebuah reportase yang berjudul “Peroendingan Politik di Tjirebon”. Pada kesempatan ini, Schermerhorn benar-benar terkesima dengan angklung sampai-sampai ia menuliskan kekaguman dan kesannya yang mendalam terhadap alat musik asal Jawa Barat tersebut dalam memoirnya yang berjudul Het Dagboek van Schermerhorn.

Keesokan harinya, perundingan berjalan dengan alur yang cukup alot dan panas karena terdapat kesenjangan persepsi yang sangat terjal di antara pihak Indonesia dan Belanda. Kebuntuan yang terjadi baru dapat diakhiri dengan hadirnya sosok Soekarno dalam perundingan. Presiden pertama Republik Indonesia ini menjadi penentu jalannya sejarah setelah menyetujui keseluruhan konsep perundingan yang diajukan oleh delegasi Belanda pada saat mereka bertemu kembali dalam acara makan malam di Kuningan. Dalam perundingan yang bersifat informal tersebut, hampir semua anggota delegasi hadir kecuali Sjahrir yang tidak bisa datang kesana dengan alasan sakit. Berkat campur tangan Soekarno, proses perjalanan perundingan selanjutnya berjalan dengan lancar.

Pasca berlangsungnya perjanjian ini, tidak semua pihak menerimanya dengan baik. Bahkan, pro dan kontra mewarnai persetujuan yang telah disepakati di Linggajati ini. Meski demikian, sejarah menunjukkan bahwa perjuangan melalui jalur diplomasi merupakan ujung tombak yang paling penting dalam penyelesaian konflik dekolonisasi yang terjadi di Indonesia.(Tendy Chaskey)
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Saat Soekarno Menentukan Jalannya Sejarah Indonesia di Kuningan Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan