Hot News
1 November 2016

Cerpen: Pisau Kemarau


oleh: Zaenal Abidin *)

Aku, titik kemarau, dan pisau. Kami akrab belum lama ini. Seringkali aku bercengkrama dengan mereka. Keakraban dengan kemarau diawali sejak sumur di rumahku mulai kering. Sedangkan akrabku bersama pisau memang sebelumnya saya minta bantuannya. 

Pisau seringkali membantuku mendapatkan penghasilan berupa K. Atas jasa pisau, aku dapat melangsungkan hidupku. Tentu pisau memenuhui kebutuhanku. Kemarau temanku, pisau sahabatku. O, hidupku terasa lengkaplah sudah dengan mereka bersamaku.

Sudah menjadi wacana warga di desaku. Mereka tidak menyukai kedatangan Musim Kemarau ini. Mereka semua mengeluh karena sulit didapatnya air. Bahkan hanya aku seorang diri yang menyambut musim ini dengan senang hati. Titik kemarau itu sekarang ada di kamarku. Kedatangan musim kemarau ini membuatku lebih diakui. Dia tidak segan berkunjung ke rumahku yang tidak layak dihuni itu. Rumahku bahkan terlihat sudah oleng karena dimakan usia. Mana ada yang mau mengunjungi rumahku.

Tentu titik kemarau itu sekarang ada di rumahku. Dia dilahirkan dari kemarau yang berkepanjangan. Aku merahasiakannya dari warga desa. Harapanku tidak ada seorang pun yang tahu tentang ini.

“Kau percaya bukan, kemarau itu mempunyai titik? Sekarang dia sedang sembunyi di rumahku. Jangan bilang siapa-siapa ya. Aku percaya kau tak akan menceritakannya pada siapa pun.” ucapku pada pisau.

“Kau memang sahabatku, mari tunjukan matamu yang tajam itu kepada orang di pasar, supaya mereka memberikan uangnya. Apakah kau bersedia?” seperti biasa sahabatku hanya terdiam, matanya yang tajam seolah isarat setuju.
“Terima kasih sahabatku.” Aku memeluk pisau dengan pelukan sahabat sejati.

Bukan sahabat yang maunya menang sendiri apalagi sahabat yang takut bersaing. Seperti ketika Aku mempunyai seorang teman di ibu kota. Dia seorang penulis. Aku ungkapkan ingin menajadi seorang penulis seperti dia. Dia telah menjadi penulis.

“Ingin menjadi penulis itu harus ada turunan, Boy!” katanya ketika ku ungkapkan sebuah cita-citaku ingin menjadi seorang penulis sepertinya.

“Turunan seperti apa?”

“Apakah kau punya kakak, ayah atau kakek yang suka menulis sebelumnya?” tanyanya yang terdengar seperti ledekan

“Tidak.”

“Itu melanggar kodrat, kau seharusnya tau dari mana keberangkatanmu! Dalam khasanah agama Budha ada yang dinamakan kasta. Kau tahu tentang kasta?”

“Tidak.” Dia selalu membuatku nampak bodoh.

“Banyaklah membaca, jangan terpaku pada karya orang kita coba baca karya-karya dari luar.”

“Aku malas dengan obrolan seperti  ini, kenapa kau menyuruhku membaca? Aku ingin menjadi penulis! Mengapa kau tidak mengajari cara menjadi penulis saja?”

“Aku ingin membaca karyamu, mana tulisanmu?” kata-kata nya justru membuatku tersinggung.

“Aku menulis pada gemericik air,  tiupan angin, desir pasir dan lambaian daun. Dengan pisau ini.” Aku mengeluarkan sebilah pisau yang bisa dilipat. Aku daratkan mata pisau tepat  didadanya.

“Aku hanya ingin belajar menjadi penulis, aku ingin belajar padamu. Karyaku sudah aku titipkan pada air, angin pasir dan daun. Mengapa kau masih menanyakan karyaku? Apakah karyaku tak pernah kau baca?”

Dia roboh dihadapanku. Disebuah rumah susun tingkat paling atas. Setelah kejadian itu aku memutuskan kembali pulang ke desaku. Sepertinya temanku takut dan tidak melaporkan ke pihak yang bewenang atau dia merasa kasihan padaku. Entahlah. Aku tidak takut, obsesiku sekarang hanya ingin menulis. Pada air yang selalu mengalir jernih, tiupan angin yang sepoy-sepoy, pasir yang berbisik dan daun-daun yang melambai.

Orang-orang desa disekitarku banyak yang bertanya pada sesepuh desa tentang kelangsungan musim kemarau ini. Sesepuh desa itu sekaligus orang yang mempunyai bakat pintar. Sebuah pertanyaan sama dari semua orang disana. Kapan kekeringan ini akan berakhir?

"Besok kata si Abah Satria akan lekas hujan," Ujar ibuku, ibuku juga sudah termasuk orang yang percaya perkataan sesepuh  desa itu.

Ketakutanku akan hujan mulai muncul. Akan aku lindungi titik kemarau supaya tidak lenyap disiram hujan. Aku minta supaya titik itu tetap di dalam kamarku. Titik kemarau nampak merintih, dia seperti seorang wanita yang tidak punya orang tua. "Janganlah engkau takut temanku." Aku mencoba meyakinkan supaya titik kemarau tidak ketakutan, mata kemarau pun berbinar. Kilapnya seperti sumber mata air yang tidak mengalir. Aku baru tahu bahwa titik pusat kemarau pun membutuhkan air. Kemarau menangis dihadapanku.

Esok yang sangat ditunggu Ibu dan warga desaku telah tiba. Kata sesepuh desa akan turun hujan. Tapi, menjelang senja tanda-tanda akan hujanpun tidak ada. Aku baru merasakan nikmatnya bersyukur. "Terima kasih Sang Penurun Hujan, Kau telah memberi kenikmatan pertemanan yang tak terpisahkan antara kami," Aku spontan berkata demikian, kata-kata yang keluar dari mulitku melesat ke arah langit.

Titik kemarau selalu aku sembunyikan di dalam kamar. Ia tidak pernah aku izinkan untuk keluar. Aku tidak ingin sampai ada hujan melalap titik kemarau. Kehilangan teman itu serasa ditusuk dengan anak panah beracun. Sakit merebak sampai urat-urat. Ah.

Ku gantungkan pisau sahabatku di depan kamar. Aku sudah berbicara dengannya untuk selalu menjaga titik kemarau. Sahabat memang selalu ada pada waktu yang sangat tepat. Aku minta agar tidak ada yang berani masuk kamarku. Ketika aku hendak pergi, lagi-lagi jasa sahabat memang tak tergantikan. Aku telah membuat komitmen dengan pisau, bahawa kami akan menjaga titik kemarau itu sampai kapanpun.

Sampai pada suatu pagi. Masarakat desa mulai resah "Air tidak seperti bensin!". Warga desaku juga menjadi salahsatu pelanggan perusahaan daerah yang menyediakan air bersih. Namun beberapa hari ke belakang air mulai mengecil seperti ekor tikus. Air kemudian tidak mengalir melewati pipa-pipa yang disusun. Katanya mereka menghabiskan dana jutaan.

"Kita sudah bayar mahal, tapi airnya tidak mengalir, untuk apa?" desus-desus pembicaraan warga. Aku kebetulan duduk dekat situ, duduk dibalik pohon mendengarkan pembicaraan mereka.

"Iya, untuk apa pipa itu ditanam? Airnya saja tidak mengalir! Aku tidak peduli mereka korupsi, tapi kita harus bertindak apabila mereka yang sedang berkuasa mengambil hak kita atas air!" jawaban desus yang lain.

Seperti seekor harimau yang hendak menerkam mangsa. Mereka geram. Memburu sebuah gedung. Entah aku kurang tahu untuk apa tempat itu. Apa peduliku? Aku tidak peduli!

Siapa yang akan nyaman bila air tak ada? Belum ada penemu yang dapat menduplikasikan air, air oh air. Hanya air yang mereka butuhkan saat ini. Mereka ingin segera musim kemarau ini berakhir.

“Air! Air! Air!” teriakan orang-orang itu.

Air juga termasuk kata yang diucapkan dalam doa masarakat desa yang memiliki kepercayaan. Aku jelas mendengarnya. Bahkan jelas melihatnya. Mereka seperti memanjatkan sesuatu ke angkasa. Sebuah harapan terhadap air yang dilontarkan secara vertikal. Harapan dari mulut mereka berubah menjadi segumpal dan melesat ke angkasa. Pada apa dan siapa gumpalan itu pergi? Apa peduliku? Aku tidak peduli!

Aku sendiri tidak ingin titik kemarau pergi. Aku ingin titik kemarau tinggal di rumahku. Kami akan menikah. Ya tentu, akan ku kawini titik kemarau itu. Supaya aku dapat selalu melindunginya. Aku tidak akan segan-segan menggunakan jasa sahabatku. Pisau kemarau. Kuberikan nama itu pada sahabatku sekarang. Pisau yang akan selalu menjaga kelangsungan kemarau. Terasa lengkaplah hidupku. Terimakasih sahabatku. Kalian membuat hidupku lebih hidup.

Dengan lantang Aku mengatakan pada semua orang yang berdiri disekitarku "Untuk apa air, toh nantinya juga kering lagi?! Untuk apa angin bila yang lahir topan?! Untuk apa padang pasir bila badai menerpa?! Untuk apa hijau daun, toh nantinya juga kering?! Untuk apa? Aku undang kalian, hadirlah ke pesta pernikahan kami. Besok saya kawin dengan titik kemarau! Kemarau akan kekal, bila ada manusa bumi ini, ada yang bersedia menikahinya." aku tak kuasa menahan tawa. Aku tertawa karena perkataanku, Aku katakan pada semua orang yang aku temui. “Sudah ku undang terik matahari sebagai penghulu dan saksinya dingin angin.”
Inginkah kau tahu apa peduliku? Aku tidak peduli!

Cinangsi, 2015

*) Zaenal Abidin, Lahir di Kuningan, 21 Mei 1993. Lulusan Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra DaƩrah STKIP Muhammadiyah Kuningan.

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Cerpen: Pisau Kemarau Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan