Hot News
1 Maret 2019

Manusia Ombang-Ambing; Perspektif Pincang Tentang Politik

oleh Zaka Vikryan
Pegiat Literasi


Fenomena cinta buta kini makin menggila. Orang-orang yang terjangkit semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Virus romantisme tampaknya begitu enteng menerabas hayat dan nalar pelbagai kalangan. Geliat semangat perjuangan guna membuat orang tersayang duduk tenang, tidak lagi dilakukan diam-diam. Sekarang segalanya telanjang. Jalan sukar penuh kerikil tajam tidak lagi masuk hitungan aral yang melintang. Apa pun kondisinya, bagaimana pun situasinya, siapa pun lawannya, menang adalah tujuan mutlak dari rangkaian ikhtiar. Inilah cinta. Cinta yang buta.

Kurang lengkap kiranya jika bicara soal keromatisan tidak menyinggung Revolusi Perancis. Ketidakbecusan pemerintahan monarki yang akhirnya dimenangkan oleh tangan rakyat tersebut dipandang sebagai ibu kandung dari gerakan romantisme. Wajar juga jika sebagian dari kita menyepakati, berterima kasih, bahkan merasa hutang budi terhadap pendahulu yang menginisiasi gerakan tersebut. Paling tidak, vandalisme yang masif tempo hari telah menginspirasi lahir dan gairah tumbuh-kembang demokrasi; termasuk di Indonesia.

Membincangkan demokrasi di Indonesia tentu tidak seringan menghempas sekepal kapas. Jauh sebelum Indonesia merdeka, tanggal 21 Mei 1939 didirikanlah Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI) yang dimotori oleh Muhamad Husni Thamrin. Atas dasar membela kepentingan rakyat, GAPI mendesak orang-orang negeri kincir angin untuk membentuk parlemen yang anggotanya dipilih dari dan oleh rakyat. Perjuangan yang telah dilalui demikian pelik nan panjang. Tentu hal tersebut tidak akan dituangkan di sini. Rentetan peristiwa semenjak pembentukan GAPI, Pemilu 1955 yang konon rusuh oleh DI/TII, hingga kini kita dihadapkan pada kontestasi politik 2019 paling tidak dapat dijadikan gambaran bahwa waktu merupakan satu dari sekian hal yang tidak dapat dimanipulasi.

Tata kelola negara, khusunya dalam aspek penentuan legislator dan eksekutor di Bumi Pertiwi dari tahun ke tahun dinilai cukup progresif. Peran serta rakyat dalam memilih pemimpin di Indonesia dirasa cukup lega dan leluasa. Setidaknya, Pasal 43 UU Nomor 39 Tahun 1999 bukan hanya sebatas prosa puitik belaka. Per-5 tahun sekali, rakyat dipersilakan menentukan sikap konstitusionalnya dalam penyelenggaran Pemilihan Umum. Ke mana Indonesia akan bergerak dan bagaimana wajar tanah air menunjukkan perangainya bergantung keputusan rakyat.

Karena Pemilu merupakan lelaku yang lekat dengan rakyat, maka setiap tahapannya kedua aspek tersebut muskil dipisahkan. Selain saat pemungutan dan penghitungan suara, tahapan kampanye adalah tahapan yang melibatkan rakyat secara langsung. Peserta Pemilu antara satu dengan yang lainnya gencar menyosialisasikan visi, misi, dan program kerjanya kepada konstituen. Hal tersebut dimaksudkan agar rakyat sebagai pemilih memiliki gambaran tentang apa yang akan dilakukan Peserta Pemilu jika terpilih untuk menahkodai tanah air di setiap tingkatannya.

Sejak goong berbunyi tanggal 23 September 2018 -petanda kampanye Pemilu 2019 di mulai- produktivitas konten-konten politik tidak dapat dihitung jari setiap harinya. Dongeng politik tidak hanya menyeruak di titik-titik kongko perkotaan. Di warung kopi, pos ronda, sawah, kebun, bahkan gang-gang sempit tema politik menjadi pilihan obrolan yang mengasyikkan. Pada momentum inilah biasanya percik-percik cinta buta dimulai.

Rasa malu seketika akan muncul jika diri tidak mampu ambil bagian dalam obrolan. Pelabelan kuper, kudet dan puluhan stigma negatif lainnya pastilah bertubi-tubi datang dari sesama kawan bincang. Disadari atau tidak, jika sudah begitu, maka disampaikanlah apa yang pernah didengar dan dilihat sekelebat sebagai jalan keluar untuk menyelamatkan muka. Kendati demikian, hati tidak dapat dibohongi, sesekali perasaan ragu atas apa yang diutarakan mungkin saja muncul di ulu hati. Apa daya, nasi telah menjadi bubur. Ucapan yang telah diutarakan tidak dapat ditarik kembali.

Tokoh behaviorism John Watson menerangkan bahwa semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak dalam perilaku berbahasa adalah hasil dari integrasi peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Ia meyakini bahwa pengetahuan linguistik terdiri dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran stimulus-respon.

Rakyat sebagai manifestasi kolektif manusia memiliki kontinum norma, identitas sosial, dan kontinuitas. Perangkat-perangkat perekat tersebut merupakan kesepakatan primordialistik yang akhirnya menjadi sebuah ekualitas. Laku asosiatifnya kemudian melibatkan bahasa dan rasa sebagai medium dasar berkomunikasi. Pada titik inilah biasanya masalah rentan mencuat ke permukaan. Perbedaan penerimaan semantis adalah pemicu ledakan konflik.

Tidak hanya persoalan verbal, komunikasi dalam bentuk tulisan pun boleh jadi berperan sebagai pangkal perselisihan. Pesatnya kemajuan teknologi adalah berkah sekaligus masalah. Isu-isu yang beredar di pusat atau daerah di luar domisili dapat lekas sampai ke genggaman tangan. Perangkat telepon cerdas yang dapat dimiliki dengan mudah oleh siapa pun memungkinkan pertukaran informasi lajunya melebihi kecepatan Shanghai Maglev atau SR-71 Blackbird. Di sinilah cinta diuji. Apakah cinta yang dimiliki miliki adalah cinta yang dewasa, logis, dan berorientasi pada kemaslahatan? Atau cinta yang berkecamuk dalam diri adalah cinta buta; tidak berakar, tidak berdasar, dan sukar dipertanggungjawabkan?

Ibarat sepasang insan yang menjalin hubungan, dari mulai sayang-sayangan, adu mulut, bahkan kekerasan fisik dan mental adalah hal yang acapkali mewarnai keseharian. Situasi demikian tentu mustahil berangkat dari ruang yang kosong. Adalah niscaya bahwa keberadaan suatu pastilah menjadi latar belakangnya. Tentu setiap lidah akan sepakat dan turut serta mengamini bahwa yang diinginkan adalah hubungan yang baik.

Biasanya kabar angin, pihak ketiga, atau ketidaksepemahaman menjadi faktor yang cukup efektif untuk merusak sebuah hubungan. Tidak jarang, informasi yang masuk entah dari mana menjadi alasan pagelaran cekcok dan adu gulat dimulai. Padahal, manusia yang waras dan mampu mengotimalkan nalarnya mestilah menghindari hal-hal demikian. Kalau pun kabar angin tersebut diketahui kebenarannya, paling tidak ia yang bijak akan memilih untuk diam dan memaafkan serta mampu menghargai perbedaan. 

Dalam konteks politik, rasa sayang dan benci adalah perasaan yang tidak dapat ditampik kehadirannya. Hegemoni sosial untuk kepentingan pemenangan tidak selamanya berjalan mulus seperti kue bakpao isi kacang. Manusia akan menjadi geofon sosial yang siap merespon seluruh komunikator menggunakan daya dan upaya yang dimilikinya. Rasa suka dan tidak suka adalah resiko yang wajib ditanggung badan.

Keberagaman nilai yang diyakini oleh manusia tidak jarang menciptakan persoalan. Baik dalam urusan cinta maupun politik, manusia sepatutnya berorientasi pada kesejukan. Informasi yang diterima mesti ditilik lebih dalam. Pada prosesnya, menganalisis informasi tentu bukan perkara enteng. Penerima informasi wajib meningkatkan pengetahuan kognisi dan moral setiap detiknya. Semakin tebal keilmuannya, semakin bijak pula seseorang bersikap ketika menerima informasi. Paling tidak, ujaran yang menggunakan istilah-istilah margasatwa tidak dipilih untuk digunakan. 

Kedewasaan dalam berinformasi tidak melulu tertuju kepada penerima informasi. Mereka yang gemar memproduksi pun memiliki tanggung jawab yang besar. Penguasaan materi, moral, dan orientasi pada keadilan serta netralitas bukan barang dagangan yang dapat ditawar-tawar. Baik produsen maupun konsumen memiliki tugas dan peran yang sama dalam menjaga keutuhan NKRI. Jika hal tersebut telah membudaya bukan hal mustahil politik di Indonesia menjadi suatu fakta sosial yang menyenangkan sekaligus menggembirakan.

Sosiolog modern asal Perancis Emil Durkheim menyampaikan bahwa fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan merasa, yang berada di luar individu dengan suatu kekuatan memaksa, yang dengannya mengontrol individu. Ketika timbul pertanyaan tentang hal lain di luar individu maka konsep tentang masyarakat adalah jawabannya. Masyarakat merupakan kenyataan ideal sekaligus tatanan moral. Maka moral dapat diartikan sebagai wujud dari struktur-struktur ide universal dalam masyarakat. 

Senantiasa berikhtiar menjadi manusia cerdas ilmu dan hati adalah perkara yang wajib dilaksanakan. Tidak tergesa-gesa untuk menyebarluaskan data dan informasi adalah sikap seorang manusia paripurna. Kaya akan sudut pandang guna membaca informasi dan menganalisisnya lebih dalam adalah usaha yang sehat untuk menghindari kepincangan kesimpulan. Cinta dan politik merupakan dua konten yang berbeda, namun mereka memiliki kesamaan yang kentara. Bagi mereka yang tidak ingin menjadi manusia ombang-ambing dan pincang perspektif, sudah menjadi hal yang pasti tentunya untuk memiliki kewarasan lahir serta batin.***
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Manusia Ombang-Ambing; Perspektif Pincang Tentang Politik Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan