Hot News
2 Mei 2019

Menerjang Arus “Feodalisme” Demokrasi


Socrates (469 SM-399 SM) merumuskan bahwa suatu rezim yang baik (sesuai urutan) yaitu rezim aristokrasi, timokrasi, oligarki, demokrasi, dan tiran. Namun Socrates merumuskan demikian karena kondisi negaranya (Yunani) tempo hari jauh berbeda dengan Indonesia (dalam berbagai aspek; religi, kultur, dsb).

Keterbelakangan (intelektual) yang pada umumnya melanda Yunani ketika itu (saat pengetahuan tertinggi dianggap dimiliki kaum sofis—yang dikritik habis oleh Socrates) membuat sistem demokrasi disimpulkan sebagai sistem yang berbahaya.

Hal buruk yang menjadi kelemahan demokrasi, seperti apa yang dipercaya Nietzsche (1844-1900), yaitu bahwa setiap orang (bahkan seburuk apa pun) memiliki kesempatan untuk memimpin. Hal tersebut sebenarnya bukan hanya berbahaya, melainkan fatal dan mampu menyebabkan suatu  negara hancur secara total.

Sebuah negara dengan pluralitas tampaknya memang kompatibel dengan sistem demokrasi. Segala kecenderungan primordial tentu saja tidak akan mau terbuka pada suatu ketentuan yang bersifat top-down tanpa adanya simposium sebelumnya. Sistem demokrasi memberikan suatu wadah di mana aspirasi (yang bersifat primordial) dapat ditampung dan dikaji dengan seksama, sebab dalam demokrasi suatu otoritas tertinggi seolah-olah menjadi semu dan semua unsur penyusunnya diberikan wewenang penuh untuk berkontribusi dalam perumusan kebijakan apa pun.

Fleksibilitas demokrasi ternyata agak relevan dengan kekhawatiran Nietzsche. Dalam celah yang begitu luas bagi aspirasi dalam berbagai bentuk, demokrasi pada akhirnya bisa kecolongan. Dalam suatu komunitas, selalu ada alpha yang mendominasi. Alpha tidak berarti berkaitan dengan kuantitas—mayoritas—melainkan kualitas dan kekuatannya. Kekuatan di sini bisa diartikan sebagai modal dan wewenang.


Alpha tersebut, apabila tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi, maka kemungkinan lainnya adalah memperkeruh warna demokrasi di masa kini untuk menyelundupkan kepentingan-kepentingannya sendiri. Bisa dibayangkan betapa berbahayanya air keruh yang di dalamnya terdapat moncong buaya. Sama halnya dengan warna demokrasi yang di dalamnya tersembunyi moncong oligarki.

Satu hal yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah mengawal demokrasi agar berjalan sesuai dengan seharusnya. Visi dan misi yang merangkul diferensiasi tidak boleh diperkeruh oleh geriliya hierarkis dari pihak-pihak yang ingin mendulang keuntungan semata.

Setiap elemen dalam negara demokrasi mestilah menunjukkan keluhuran budi pekerti, dimulai dari menerima segala pluralitas. Setiap konflik dalam sistem sosial hampir selalu dijalankan secara sistemik oleh alpha yang menjadi stereotipe konkret dari “kecolongan”-nya sistem demokrasi negara ini. Setiap kecenderungan adanya feodalisme—dalam berbagai skala—harus ditumpas habis oleh semua elemen negara. Keselamatan kolektif adalah harga mati dari sistem demokrasi.

Candrika Adhiyasa
Sastrawan
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Menerjang Arus “Feodalisme” Demokrasi Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan