Hot News
13 Februari 2022

Memaknai Bahasa Ibu dari Persepsi Bahasa dan Budaya Sunda (Bag.2)

 Tulisan Sebelumnya: Bagian 1.


Drs. Dodo Suwondo, MSi ( FB. Hyang Purwa Galuh )

Apa yang sebenarnya dimaksud dengan bahasa ibu? apakah bahasa yang ditentukan berdasarkan suku/etnis dia berasal atau bahasa yang ditentukan dengan lingkungan sosialnya?  Ada dua pendapat mengenai hal ini. Bahasa ibu selalu berhubungan dengan suku atau etnis dari mana individu berasal, misalnya seseorang itu sejak lahir adalah suku Jawa, maka secara otomatis bahasa ibunya haruslah bahasa Jawa, begitu juga dengan orang Sunda, orang Batak dan sebagainya, termasuk orang keturunan Tionghoa. Maka bahasa ibunya bisa bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Cina. 

Sementara pendapat yang kedua, ada yang berpendapat bahwa itu tergantung dengan lingkungan sosial tempat dia berada. Misalnya dia adalah orang Jawa, namun dia lahir di Sumatra atau di Jakarta yang lingkungan sosial menggunakan bahasa Indonesia, maka secara otomatis bahasa ibunya adalah bahasa Batak/Sumatra (atau yang lain) atau bahasa Indonesia karena tinggal di Jakarta yang jarang ditemukan orang berbahasa jawa. itulah dua pendapat, mana yang benar. karena ini menjadi dasar sebelum menjawab pertanyaan berikutnya. 

Akan tetapi jika kita melihat kembali akar sejarah International Mother Language Day (Poé Basa Indung Sadunya) yang merupakan tonggak perjuangan rakyat Pakistan timur yang merupakan penutur bahasa Bangla, maka yang disebut bahasa ibu adalah bahasa etnis.

Semakin lama di lingkungan sosial di Kuningan, semakin banyak orang tua yang sejak kecil, yang mengajarkan bahasa Indonesia menjadi bahasa komunikasi (bukankah ini secara otomatis menjadi bahasa ibu), jarang yang mengajarkan bahasa lemes dan sebagainya, sehingga seorang anak kemudian berbicara dengan orangtua menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa kasar, Sebuah kenyataan yang membuat kita (orang Sunda) mengurut dada. Jika wilayah-wilayah yang menjadi kantong budaya Sunda saja sudah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas pengguna bahasa Sunda, apalagi yang di luarnya, bukan tidak mungkin akan semakin hilang. 

Di era globalisasi, orang tua cenderung mengusahakan agar anaknya mampu menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, atau Perancis dan sebagainya.  Jangankan bahasa lokal, bahasa Indonesia saja semakin terpinggirkan. Begitu banyak sekolah internasional yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, bahkan kadang ditemukan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris dan Mandarin. Itu adalah fakta. Bahasa Indonesia menjadi nomor dua. Buktinya saja, banyak ditemukan orang yang menggunakan bahasa campuran Indonesia dan inggris, yang dipelopori oleh media televisi. Bahasa campuran adalah bahasa gaul, bahkan penguasaan bahasa Inggris mutlak untuk bisa menembus era globalisasi. 

Sah-sah saja untuk bisa menguasai bahasa asing, namun apakah itu berarti harus memupus bahasa lokal? Di India, bahasa Hindi adalah bahasa pemersatu, juga ditemukan puluhan bahasa lokal seperti layaknya di Indonesia. Namun bahasa Inggris juga menjadi bahasa resmi kedua setelah Hindi. Dengan kata lain, ada kemungkinan setiap orang India bisa menguasai tiga bahasa sejak kecil (itu jika pembelajarannya tepat). Sama halnya di Malaysia. Begitu getol mengajarkan bahasa Inggris, namun mereka juga tetap mengajarkan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dan juga bahasa etnis masing-masing (Tamil dan bahasa Cina), sehingga paling tidak setiap orang menguasai minimal 3 bahasa. 

Bahasa adalah dasar budaya. bahasa menunjukkan jati diri, bahasa Indonesia menunjukkan jati diri orang indonesia. Kemudian, di mana posisi bahasa daerah (Sunda)? apakah bahasa Sunda atau bahasa lokal lain juga menunjukkan jati diri? 

Jati diri secara lokal tentunya, seperti jati diri dan karakter orang Sunda, orang Jawa, orang Papua dan lain sebagainya. sudah beberapa ditulis di media, bagaimana beberapa bahasa lokal di Indonesia (di Papua dan Maluku) yang sudah punah karena tidak ada penuturnya, sementara itu beberapa bahasa lain sudah menunjukkan kondosi kritis karena penuturnya sudah sangat sedikit.

Bahasa daerah (Sunda) memang belum akan mengalami kepunahan, namun menunjukkan gejala mengalami penurunan pengguna, tanya setiap orang yang mengaku dirinya orang Sunda, orang Jawa, orang Padang, orang Batak dsb., apakah dia bisa berbahasa lemes daerahnya?   Dengan tingkat tutur yang berlaku pada bahasa etnis tersebut, pasti mereka mengetahui, namun bahasa dengan tingkat tutur tersebut, apakah mereka mampu menggunakan? Mungkin tidak, dan banyak yang menggunakan bahasa Indonesia untuk memudahkan berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati.

Dalam hal ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan, sebagai lembaga yang mengemban membina kebudayaan daerah (Sunda), yang bergerak dalam penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi utama dan transfer ilmu kebudayaan, punya kepentingan untuk mengangkat Hari Nahasa Ibu Internasional (Poé Basa Indung Sadunya), sebagai bagian dalam pembinaan dan pengembangan bahasa daerah (Sunda) dan pelestarian bahasa Sunda.

Demi mendukung pembinaan bahasa nasional dan pelestarian bahasa Sunda tersebut, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan yang bekerja sama dengan Dewan Kebudayaan Kabupaten Kuningan menyelenggarakan miéling dan memeriahkan momen bersejarah tersebut, dengan mangangkat tema:    


BASA URANG BANDA URANG, AJÉN SAJATI NAGARI, SUNDA NANJUNG DIPIGANDRUNG DINA TANGTUNG ADILUHUNG.


Berkehendak melaksanakan miéling dan memeriahkan Hari Bahasa Ibu Internasional, bahwa ‘basa téh cicirén bangsa, leungit basana-ilang bangsana’, betapa pentingnya bahasa di dalam kehidupan dan kebudayaan suatu bangsa, tak terkecuali Bangsa Indonesia. Tetapi, disebabkan kemajuan peradaban zaman dan pengaruh globalisasi, banyak penutur bahasa yang enggan menggunakan bahasa daerah. Hal ini yang membuat UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai International Mother Language Day atau Hari Bahasa Ibu Internasional. Ketetapan ini yang kemudian menjadi rujukan diperingatinya hari bahasa ibu di berbagai belahan dunia.

Lebih dari itu, perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini terasa lebih spesial karena masyarakat tatar Sunda dan petutur bahasa Sunda baru saja dikejutkan dengan perasaan yang sangat menyakitkan oleh seorang tokoh politik yang bernama Arteria Dahlan yang menyinggung keberadaan dan penggunaan bahasa Sunda dalam forum rapat Kajati, 17 Januart 2022 yang baru lalu, dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI bersama Jaksa Agung. 


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Memaknai Bahasa Ibu dari Persepsi Bahasa dan Budaya Sunda (Bag.2) Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan