Hot News
13 Februari 2022

Memaknai Bahasa Ibu dari Persepsi Bahasa dan Budaya Sunda (Bag.1)

Tulisan Bagian 1 dari 2 Bagian

 
Drs. Dodo Suwondo, MSi ( FB. Hyang Purwa Galuh )


Berbicara tentang bahasa, maka akan berbicara mengenai salah satu unsur dari kebudayaan. Sebab bahasa merupakan salah satu dari 7 (tujuh) unsur kebudayaan. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut, antara lain; bahasa, seni, pengetahuan, peralatan, pekerjaan, organisasi kemasyarakatan, dan kepercayaan.

Penempatan urut-urutan ketujuh unsur kebudayaan tersebut, yang dimulai dengan bahasa pada urutan pertama, bukan tanpa alasan. Akan tetapi, hal tersebut memiliki alasan yang kuat. Oleh karena,  dengan bahasa, semua unsur-unsur kebudayaan tersebut didokumentasikan, oleh bahasa, termasuk juga bahasa itu sendiri.

Definisi yang populer dari bahasa; "bahasa adalah alat komunikasi antar manusia yang memahaminya". Jadi, dengan bahasa yang dipahami, manusia bisa saling berkomunikasi, saling mengetahui siapa dia, siapa saya.

Melalui bahasa pula, semua yang tersimpan dalam pikiran kita, dideskripsikan baik secara lisan maupun tertulis, untuk disampaikan kepada orang lain. Maka, terjadilah saling memahami, di antara lawan bicara (atau antara penulis dan pembaca). Proses saling memahami di antara manusia yang satu dengan yang lainnya ini, dibantu oleh kehadiran bahasa sebagai alat komunikasi. Jadi, melalui penggunaan bahasa, manusia bisa berkomunikasi antar sesamanya.

Pernahkah orang mengembangkan kesenian, dan kemudian mewariskannya kepada generasi berikutnya, tanpa bahasa. Belum pernah kita temukan. Bisa jadi ada orang yang mengatakan; "kita bisa berkesenian (bermain music), asal ada partiturnya". Harus dipahami, bahwa kahadiran partitur juga merupakan lambang nada, yang mewakili bahasa.

Kita sering mendengarkan musik instrumental, yaitu musik tanpa vokal. Kita akan menikmati musik tersebut, tetapi belum dapat menikmati isi dan makna musik tersebut, jika tidak disertai suara (vocal) manusia dengan bahasa yang digunakan untuk melanunkan lagu. Kita bisa merasa sedih, merasa gembira, merasa senang, merasa tenang, termotivasi melalui musik. Karena, di dalam musik tersebut disertai vokal penyanyinya. Disertai pula penikmat musik,  memahami makna dari bahasa yang dinyanyikan tersebut. Maka, tersampaikanlah pesan yang dibawa di dalam nyanyian tersebut. Maka, bahasa menjadi alat utama yang digunakan dalam komunikasi antara masyarakat manusia.

Bahasa ibu atau bahasa pertama yang diperoleh seorang anak (sebut bahasa daerah),  mengalami ancaman kepunahan hampir setiap harinya. Menurut data Unesco, setiap dua minggu sebuah bahasa menghilang dengan membawa seluruh warisan budaya dan intelektual. Setidaknya diperkirakan 43 persen dari kurang lebih 6.000 bahasa yang digunakan di dunia terancam punah. Hanya beberapa ratus bahasa yang benar-benar diberi tempat dalam sistem pendidikan dan domain publik, dan kurang dari seratus bahasa digunakan di dunia digital. 

Saat Ini dalam Sejarah: Bahasa Asli Alaska, Bahasa Eskimo-Aleut, Athanaskan, Haida, dan Tsimshian, dianggap hampir punah dirampas oleh kekuatan bahasa asing (Rusia), yang memfasilitasi serta menjamin perdagangan yang sukses dan meningkatkan ekonomi. Masyarakat multibahasa dan multikultural hadir melalui bahasa mereka yang menyebarkan dan melestarikan pengetahuan dan budaya tradisional secara berkelanjutan. 

Gagasan awal untuk merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional adalah inisiatif dari Bangladesh. Ketika Pakistan dibentuk pada tahun 1947, ia merupakan dua bagian geografis yang dipisahkan oleh India, yaitu Pakistan Timur (saat ini dikenal sebagai Bangladesh) dan Pakistan Barat (saat ini dikenal sebagai Pakistan). Kedua bagian tersebut sangat berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengertian budaya, bahasa, dan sebagainya.

Pada tahun 1948, Pemerintah Pakistan mendeklarasikan bahasa Urdu sebagai satu-satunya bahasa nasional Pakistan meskipun bahasa Bengali atau Bangla digunakan oleh mayoritas orang yang menggabungkan Pakistan Timur (sekarang Bangladesh) dan Pakistan Barat (sekarang Pakistan). Oleh karena itu, rakyat Pakistan Timur pada saat itu memprotes karena mayoritas penduduk di Pakistan Timur menggunakan bahasa Bangla sebagai bahasa ibu mereka. Rakyat Pakistan Timur menuntut agar bahasa Bangla dijadikan setidaknya salah satu bahasa nasional selain Urdu. Permintaan tersebut pertama kali diajukan oleh Dhirendra Nath Datta dari Pakistan Timur pada tanggal 23 Februari 1948 di Majelis Konstituante Pakistan. Untuk membubarkan protes tersebut, pemerintah Pakistan melarang pertemuan publik dan unjuk rasa. Namun, mahasiswa Universitas Dhaka mengatur rapat-rapat umum dengan dukungan masyarakat umum.  Pada 21 Februari 1952, polisi melepaskan tembakan terhadap para demonstran tersebut.  Akibatnya, beberapa mahasiswa tewas dan ratusan masyarakat lainnya terluka. Ini merupakan kejadian langka dalam sejarah dimana orang-orang  mengorbankan nyawa mereka demi bahasa ibu mereka.

Sejak itu, masyarakat Bangladesh merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional sebagai salah satu hari tragis mereka. Mereka mengunjungi Shaheed Minar, yaitu sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang para martir dan replikanya untuk mengungkapkan kesedihan, rasa hormat, dan terima kasih kepada mereka. Hari Bahasa Ibu Internasional akhirnya dijadikan hari libur nasional di Bangladesh.

Hari itu diumumkan oleh Konferensi Umum Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) pada November 1999 (30 C / 62). Dalam resolusi A / RES / 61/266, Majelis Umum PBB meminta negara-negara anggotanya "untuk mempromosikan pelestarian dan perlindungan semua bahasa yang digunakan oleh orang-orang di dunia" pada 16 Mei 2009. Dalam resolusi tersebut, Majelis Umum menyatakan 2008 sebagai Tahun Bahasa Internasional untuk mempromosikan persatuan dalam keanekaragaman dan pemahaman internasional melalui multibahasa dan multikulturalisme.

Resolusi bahasa internasional tersebut disarankan oleh Rafiqul Islam, seorang Bangli yang tinggal di Vancouver, Kanada. Rafiqul menulis surat kepada Kofi Annan pada tanggal 9 Januari 1998 dan memintanya untuk mengambil langkah dalam rangka menyelamatkan bahasa dunia dari kepunahan dengan mendeklarasikan Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Akhirnya, mereka menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional untuk memperingati dan mengenang korban-korban penembakan  tahun 1952 di Dhaka selama Gerakan Bahasa.

Saat ini, orang Israel/Yahudi, dianjurkan menguasai minimal tiga bahasa asing. dengan kata lain, banyak orang dari berbagai negara yang selain menguasai bahasa lokal, bahasa persatuan dan juga menguasai bahasa asing. 

Namun mengapa hal ini tidak terjadi di Indonesia?

Bahasa Indonesia banyak yang tercampur-campur dengan bahasa daerah dan bahasa asing (Inggris). Bahasa lokal (bahasa daerah), dalam hal ini dikatakan sebagai bahasa ibu, keberadaannya semakin terpinggirkan, semakin hilang, dianggap tidak gaul, dan ketinggalan jaman.


Berlanjut ke 

Memaknai Bahasa Ibu dari Persepsi Bahasa dan Budaya Sunda (Bag.2)


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Memaknai Bahasa Ibu dari Persepsi Bahasa dan Budaya Sunda (Bag.1) Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan