Hot News
10 Maret 2022

Cerpen: Tidak Sendiri

 Ki Pandita Ciremai


 

“Ada yang merasa dirinya setegar karang.

Tapi kau tidak hidup sendiri di jagad ini”.

***

 

Ikan koi hilir mudik dari sudut yang satu ke sudut ruang kolam yang lain. Mengibaskan siripnya dengan santai dan elegan. Beberapa bungan eceng gondong mulai mekar,  ungu kebiruan dihias kuning cerah. Air gemericik dari pompa sirkulasi, menambah sunyi hati dengan riak-riak. Ramadan berdiri menaburkan pelet beberapa genggam. Umurnya mulai mendekati jatuh tempo. Lelaki tidak bisa hidup sendiri. Perjalanan belum lengkap jika tulang rusuk belum ditemukan.

Jodoh bukanlah persoalan mencari yang sempurna. Sebab tidak ada lelaki yang sempurna, begitu pula tidak ada perempuan yang sempurna. Jangan idealis, dan berhentilah bermimpi. Kau tidak hidup sendiri di jagad ini. Kau bukan satu-satunya yang gagal di kolong langit ini.

Ramadan menoleh ke arah wetan di rimbunnya pohon. Berjalan pelan ke sana, tempat makam ibunya yang selalu setia menunggu. Beberapa jumput rumput dicabuti dangan akarnya. Dan dalam keheningan itu pun, sebait doa dilantunkan dalam dada. Duduk berjongkok dan berbisik seolah sedang menunggu jawaban dari ketiadaan, “bu......mana yang harus ku pilih?” Digesernya layar hp dengan seksama, memperhatikan beberapa wajah cantik yang tersimpan di galeri. Diantaranya sudah lama tidak berkontak, dan tidak berkabar. Hanya debaran jantung tetap tidak bisa dibohongi ketika menatap senyum dan sorot mata yang satu itu. Tetapi.......

Dua tahun ini kedai kopi menurun omsetnya. Tidak ada yang perlu disalahkan, memang begitu keadaannya. Tabungan terkuras dan sempat terfikir untuk menjual kendaraan yang ada untuk menutupi kewajiban. Ini adalah tahun yang berat. Jangan menyerah.

Di sebuah hamparan tanah hijau, Ramadan merebahkan tubuhnya. Berusaha menyatu dengan semesta. Pejamkan mata dan mengatur nafas sedemikian rupa supaya dapat mendengar kehendak bumi. Sebab jagad ini laksana cermin yang memantulkan karma. Siapa yang menabur kebaikan, maka akan menuai kebaikan.

Seseorang pernah bercerita tentang pahitnya rumah tangga. Awalnya saling cinta, sejurus kemudian ketika badai datang, setelah bertahan begitu lama, mereka hancur lebur menyisakan serpihan air mata dan luka-luka. Jika demikian, siapa yang akan berani naik bahtera? Saat cinta berubah menjadi benci dan dendam. Seorang lain pernah menuturkan, bahwa rumahtangganya hanyalah sandiwara dan kepura-puraan belaka. Mereka mejalani kehidupan masing-masing tanpa ada perceraian. Berusaha setegar karang. Setidaknya orang lain tidak tahu itu.

Matahari di atas kepala membentuk bayangan yang menempel pada tanah. Bahkan saat matahari sudah tenggelam dan berganti malam, bayangan itu tetap ada. Ramadan lalu menemukan cinta dibalik secangkir kopi. Kepada bayangan itu ia berkata, “aku mencintaimu.” Bayangan itu tidak juga pergi, dan tidak menjawab. Tidak sama seperti bayangan yang lain. Tapi bagaimana mungkin mencintai bayangan?

Dipejamkannya kedua mata lalu masuk pada kesunyataan. Semoga saja doa bisa mengubah bayangan menjadi kenyataan. Tidak, tidak, tidak...... Tidak semudah itu. Sebab doa seringkali hanyala barisan kata yang dipenuhi keangkuhan dan ego. Doa berganti menjadi sebait perintah kepada semesta supaya menuruti idealisme pribadi. Doa semacam itu tidak mengubah apa pun juga. Itu bukan doa.

Dalam hening jiwa, Ramadan menyusuri hutan dan gunung, berharap apa yang dicarinya dapat ditemukan. Semakin jauh ke dalam dan semakin jauh, hanya ada gundukan batu-batu besar yang membisu. Semeru, Merbabu, Ciremai atau Rinjani? Tiba-tiba saja hp bergetar menunjukan pesan masuk. Seorang perempuan bernama Tika menuliskan jawaban singkat, “aku juga mencintaimu.”

Matanya bulat tajam berbinar, berkerudung abu dan berbaju kelabu. Disematkannya cincin emas di jari manisnya. Tidak ada cinta yang sempurna, karena semua orang sering kali memulai dengan banyak goresan masa lalunya. Setidaknya sekarang jangan lagi saling melukai.

Dengan langkah kecil seperti menjangan, Tika menggenggam erat tangan Ramadan. Di pusara itu, Ramadan berkata, “bu.....sudah ku temukan.” Matahari begitu cerah, tetapi tidak ada bayangan.

“Sampai mati.”

“Ya, sampai mati.”

Sepahit apa pun rasa kopi, akan menjadi manis ketika binar mata dan senyuman itu larut didalamnya. Berjuanglah terus dan jangan pernah menyerah seperti yang lainnya.

 

Pertengahan Maret 2022

Kado Pernikahan Ramadan dan Rinjani


  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Cerpen: Tidak Sendiri Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan