Hot News
8 April 2022

Puisi: Panggilan Terakhir

 



Vera Verawati

 

                Suara merdu binatang malam, satu dua masih terdengar, sisanya turut lelap bersama para pemimpi. Sayup panggilan pertama untuk dua rakaat. Mendayu penuh rayu, menunggu berlabuh segala keluh, dan cerita tentang harapan di wajah subuh.

 

                Penat lelah perjalanan bahkan berlari mengejar asa yang kau cita-cita. Pelajar belajar, petani bertani, saudagar berdagang. Merangkai rona sambung menyambung kehidupan dan penghidupan. Bekerja keraslah seolah hidup ini seumur dunia berputar.

 

                Panggilan kedua berkumandang, empat rakaat disegerakan. Masih berjibaku dengan pekerjaan, berbagai alasan menjadi sanggahan. Menunda hingga waktu terlewatkan, merapat menuju ashar. Abaikan kembali panggilan penuh sayang.

 

                Gelap merayap, magrib berbisik lirih. Letih terbaring, merayapi syetan dalam kantuk tak tertahan. Sebagian lagi masih hilir mudik memanjakan angka demi kesenangan para gundik. Tak terasa isya tiba mengemas lelah teramat penat.

 

                Lima panggilan sayang dari sang pujaan, lima ajakan bercengkrama untuk saling bicara tentang semua rasa yang ada, hangus terbakar keserakahan yang nyata. Menguap begitu saja oleh angkuh dan congkak yang sia-sia.

 

                Tanpa sadar, pintu kematian terbuka kapan saja. Tak berkabar berita, tanpa suara, tanpa jejak. Tiba-tiba panggilan itu tak lagi terdengar, hanya kain putih membalut, tanah merah mulai berjatuhan, sakit itu berlipat tiada kepalang.

 

                Orang-orang terkasihmu tak satu pun yang turut, mereka yang berkata cinta sehidup semati hanya dalam kepalan angin terekam. Karena nyata belum genap empat puluh hari kematian, bayangmu pun tak lagi tergambar.

 

                Demi apa? Bertindak, bersikap, bekerja tanpa takaran yang jelas. Hingga panggilan kekasih hati pun rela diabaikan. Tidakah kau tahu, tak satupun Dzat di kehidupan ini yang memiliki kasih dan sayang seluas yang tanpa batas, selain kasih-NYA.

 

                Maka masih berani berpura-pura tuli hingga tak pedulikan seruan. Bersiaplah menjadi orang-orang yang rugi. Karena sungguh kebahagiaan itu nyata ditawarkan dalam seruan adzan, lima waktu, hanya lima waktu tidak lebih dan kurang.

 

Kuningan, 010422

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Puisi: Panggilan Terakhir Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan