Oleh Novalia
Ayah, sosok yang berperan penting dalam hubungan kekeluargaan. Perannya bisa menjadi teladan dalam rangka membentuk karakter anak dan menjaga keharmonisan keluarga. Maka, dalam rangka mengapresiasi tugasnya, Indonesia menetapkan adanya Hari Ayah Nasional, yang jatuh pada tanggal 12 November. Harapannya dapat menumbuhkan kesadaran publik akan pentingnya peran ayah dalam pendidikan kepada anak dan istri.
Sayangnya, kehadiran sosok ayah masih menjadi kendala dalam perjalanan pengasuhan anak. Masih banyak ayah yang hanya fokus mencari nafkah dari pagi hingga petang. Sehingga menjadikan beban pengasuhan seluruhnya bertumpu pada ibu. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia, ada sekitar 15,9 juta anak berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah. Angka ini setara dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak berusia kurang dari 18 tahun. (www.kompas.id/20/10/2025).
Data diatas menunjukkan betapa sibuknya seorang ayah diluar rumah hingga tak sempat bermain dengan anaknya. Bahkan sekadar bersapa sebentar pun tak mampu melakukannya. Jika dibiarkan lama, bisa menjadi bom waktu yang akan meledak di kemudian hari. Anak kehilangan arah, tidak ada teladan dalam perjalanan hidupnya.
*Ancaman Psikologis*
Pada hakikatnya sosok ayah itu penuh dengan kehangatan, karena kasih sayangnya tak bisa terukur walaupun tak selalu nampak. Hanya saja dapat mempengaruhi perkembangan kognitif dan sosial anak. Selain itu, ayah dapat mendidik rasa tanggung jawab anak sedari kecil, dan akan melekat hingga dewasa.
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Dr Rahmat Hidayat, mengatakan jika ketidakhadiran figur ayah diakibatkan mobilitasnya yang tinggi, dapat berdampak pada perkembangan emosionalnya. Hasilnya, anak akan berperilaku buruk dan salah tujuan.
Kehilangan figur ayah, ternyata penyebab utamanya adalah perceraian. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2023 pasangan yang bercerai mencapai 463.654 kasus. Dan kasus terbanyak ada di daerah Jawa Barat 102.280 kasus, Jawa Timur 88.213 kasus, Jawa Tengah 76.367 kasus. Maka, masih banyak sekali jumlah pasangan yang mengakhiri pernikahannya karena perekonomian, misalnya.
Selain itu, bisa juga fatherless dikarenakam bekerja di luar kota, melakukan KDRT, dan hubungan yang buruk (tidak terjalin kontak, hanya hadir dalam fisiknya saja). Akhirnya anak rentan mengalami gangguan psikologi seperti depresi, kecemasan, dan kesepian. Lebih parah lagi, anak menjadi tidak stabil emosi dan mentalnya, yang ujungnya terjebak pada kenakalan remaja.
*Lindungi Fitrah Anak*
Sejatinya tidak ada yang kebetulan, kondisi fatherless pasti ada pencetusnya. Bermula dari serangkaian kebijakan pemerintah dan regulasi multisektor yang secara sistemis meminggirkan peran ayah dalam pendidikan dan pengasuhan anak. Mengapa demikian? Karena demi merealisasikan keuntungan dan kepentingan pribadi para penguasa dan pengusaha, rakyat harus menjadi korban.
Artinya, seorang ayah harus bekerja ekstra hingga menghabiskan banyak waktu dan berjauhan dengan keluarga demi memenuhi kebutuhan dasar keluarga (sandang, pangan, dan papan). Yang sejatinya kebutuhan pokok itu menjadi tanggung jawab negara. Tak hanya itu, rakyat harus membayar mahal untuk perkara pelayanan, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi.
Maka dari itu, untuk menghilangkan fatherless (kehilangan figur ayah) perlu penyadaran dari dirinya dan lingkungan, serta kerjasama dengan pemerintah, sebagai pemangku kebijakan. Mengapa? Agar ayah tidak hanya disibukkan dalam mencari nafkah saja, tetapi memiliki waktu yang cukup untuk bercengkerama dengan anak-anaknya.
Disebutkan bahwa peran ayah dalam pendidikan anak sama pentingnya dengan peran ibu. Al-Qur’an menggambarkannya dalam QS Luqman ayat 17, yang artinya: "(Luqman berkata,) “Wahai anakku! Dirikanlah salat, suruhlah (manusia) berbuat yang makruf, dan cegahlah dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (QS Luqman [31]: 17).
Tak hanya itu, ayah-pun sangat berperan dalam penanaman tauhid, pembiasaan ibadah, menasihati untuk takwa, pergaulan secara makruf, dan menjadi teladan dalam kepemimpinan. Yang ketika dijalankan dengan baik, akan melindungi anak sesuai fitrahnya bukan sekedar ceremonial saja. Wallahu'alam bishshawab.






0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.