Ina Agustiani, S.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Dalam dunia pendidikan, salah satu karya bertalenta anak bangsa ada dalam program karya ilmiah setingkat SMK/SMA biasanya pada momen menuju kelulusan. Jika karya ilmiah itu otentik maka perlu digagas untuk dilindungi supaya tidak diklaim oleh pihak yang menginginkan keuntungan semata. Maka dari itu pada Jumat, 24 Oktober 2025 Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM Jawa Barat (Kanwil Kemenkum Jabar) bersama Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat menggelar rapat koordinasi di ruang Rapat PKLK Disdik Jabar, Bandung. Pertemuan ini membahas sosialisasi Kekayaan Intelektual (KI) yang akan menyasar sekitar 5.000 satuan pendidikan menengah setara SMA/SMK.
Rapat ini dihadiri rombongan Janwil Kemenkum Jabar dipimpin Kepala Divisi Pelayanan Hukum, Hemawati BR Pandia dan jajaran Bidang Kekayaan Intelektual. Hemawati menyampaikan gagasannya bahwa banyak karya siswa seperti lukisan, aplikasi, program komputer, serta konten kreatif adalah KI yang harus dilindungi, maka dari itu edukasi perlu dilakukan melalu stake holder disatuan pendidikan yang terkait dengan kerja sama dan kolaborasi.
Kreativitas anak muda memang tinggi dan banyak di sekolah-sekolah yang mengkhususkan membuat karya sebagai bahan kelulusannya. Contohnya dalam sebuah talkshow bernama Festival Inovasi dan Kewirausahaan Siswa (FIKSI) di Exhibition Hall SMESCO lalu (29/10). Dari Kemenkum RI Erni Purnamasari, SH , MH seorang Analis Kebijkan Ahli Madya Direktorat Kerja Sama dan Edukasi, Ditjen KI mengatakan ada salah satu finalis FIKSI dari SMAN 4 Denpasar bernama Ni Kadek Suri Pradya dan Luh Gede Keisha Larasati, meraih juara 3 JA Asia Pasific 2025. Membuat karya inovasi B-IU Clenaer berbahan limbah kulit pisang, dan karyanya belum didaftarkan kekayaan intelektualnya.
Kekayaan
Intelektual dalam Bayang Kapitalisme
Sekilas KI
ini seperti menyelamatkan karya generasi muda, tetapi jika ditelaah lebih dalam
ada persoalan mendasar dalam sistem yang dipakai saat ini. Apalagi jika
dikaitkan dengan sistem kapitalis yang jadi pondasi hukum KI yang lahir dengan
pandangan penempatan karya sebagai komoditas ekonomi. Dalam kapitalisme karya
tidak hanya dilindungi tapi dimonopoli dengan hak cipta, dipatenkan menjadi
merk dagang. Tujuannya bukan untuk keotentikan produk saja dan hasil akhirnya
adalah keuntungan ekonomi dengan mengontrol distribusi.
Ini bisa jadi bumerang untuk siswa jika dalam konteks pendidikan, yang seharusnya dimotivasi untuk berbagi ilmu dan berkontribusi untuk masyarakat diarahkan berpikir komersil. Seharusnya ilmu yang didapat itu dibagi untuk bersinergi, justru kreativitas dibatasi dan dikendalikan untuk bersaing. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) jika dalam kapitalisme yang menunjung tinggi manfaat melalui ekonomi yang sumbernya dari kehidupan Barat mempunyai dasar bahwa ilmu harus eksklusif dan tidak bisa diakses oleh semua.
Ditengah pembajakan dan penjiplakan karya secara massif, rasanya hal yang tepat bagi para penemu untuk mengamankan idenya mulai karya seni, karya ilmiah, pemalsuan merk, inovasi, dan lainnya. Ada sebuah contoh penemuan alat kesehatan penting untuk rakyat, tetapi melalui sistem paten akhirnya dikembangkan oleh swasta dijual dengan harga tinggi pada masyarakat. Orang sakit, butuh alat itu tapi tak mampu bayar akhirnya tak bisa mengakses manfaatnya.
Itulah sistem kapitalis yang segala sesuatu didistribusian dengan harga, telah menjauhkan masyarakat dari menikmati hasil karyanya. Dampaknya adalah perkembangan ilmu saat ini tidak berkorelasi dengan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, perkembangan riset dan teknologi dikomersialisasi industri swasta, bukan solusi masalah rakyat. Adapun kenapa tidak dibeli oleh negara? Menjadi rahasia umum jika dilakukan oleh negara diberikan harga yang jauh dibawah standar swasta untuk para penemu.
Islam Menjaga Karya
Islam punya pandangan tersendiri mengenai hasil kekayaan intelektual dengan pengaturan syariat di segala bidang. Ilmu pengetahuan ibarat air hujan yang siapapun dapat memanfaatkannya dengan mudah. Rasulullah saw. dalam hadist riwayat Muslim, “Perumpamaan apa yang diturunkan oleh Allah Taala kepadaku berupa petunjuk dan ilmu itu adalah seperti air hujan (”ghoits”) yang jatuh ke bumi”, dan juga “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Dengan salah satu hadist diatas semua penemu, inovator, intelektual mendapat reward terbaik dengan hasil kerja keras dan pemikirannya yang dibayar mahal oleh negara. Memberikan hadiah berupa emas seberat buku yang ditulis atau diterjemahkan adalah salah satu contoh ketika khalifah memberikan reward terbaik di masa kejayaan Islam. Pemberian emas ini mendorong para pengembang ilmu terdorong menghasilkan karya terbaik untuk peradaban, dengan hadiah terbaik dan sepadan maka digunakan untuk kemaslahatan kepada orang banyak bukan dikomersilkan oleh pihak swasta.
Pada masa Khalifah Al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah penerjemah karya kuno diberi gaji sangat fantastis, setiap orang menerima 500 dinar per bulan setara 2 kilogram emas. Dari Andalusia ada khalifah Al-Hakam al-Umawi memberi 1000 dinar emas untuk Abu Faraj al-Ashfahani untuk dalam karyanya bukunya kitab Al-Aghani. Islam sangat menjunjung tinggi ilmu yang manfaat pada kebaikan, tetapi jika sebaliknya negara akan melalukan pidana berat, seperti buku yang memuat ajakan kemaksiatan, hoax meresahkan atau merusak moral.
Ilmuwan tak perlu khawatir akan masa depannya dan terus diberdayakan agar bisa fokus berkarya, dengan dukungan finansial melalui baitulmal yang pos pemasukannya beragam akan menjamin seluruh kehidupan rakyatnya terjamin dengan gerbang ilmu pengetahuan yang luas.
Untuk saat ini sedikit yang bisa dilakukan agar program Kemenkum bisa melindungi dan memberdayakan siswa perlu dilakukan telaah kembali pandangan melalui edukasi nilai dalam berkarya bahwa ini juga bentuk ibadah dan kontribuso, bukan hanya nilai ekonomi. Lalu pernghargaan non-komersial melalui epresiasi sosial dalam bentuk pengembangan karya, tanpa mendaftar hak cipta. Kolaborasi dengan lembaga Islam misal komunitas dakwah, pesantren untuk bangun ekosistem, revisi kurikulum dan kebijakan pendidikan agar diintegrasikan sesua nilai Islam dalam kurikulum pendidikan kreatif agar tidak terjebak pola pikir kapitalis.
Kemenkum
sebagai badan yang bertanggungjawab terhadap potensi kekayaan intelektual
pendidikan patut diapresiasi sebagai bentuk perhatian dan pengawasan potensi
siswa. Maka dari itu agar tidak terjebak mekanisme kapitalisme perlu ada
masukan dan evaluasi serta reformasi berbasis Islam. Pendidikan harus menjadi
tempat pembebasan, bukan pembatasan. Karya siswa dijalankan menjadi syiar bukan
komoditas ekonomi. Dengan begitu pandangan Islam terhadap pendidikan akan
melahitkan generasi kreatif berkonsep akidah Islam, manfaat dan berguna bagi
umat. Wallahu A’lam.







0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.