Hot News
4 April 2017

Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas


Oleh : Maun Kusnandar *)
Suarakuningan.com - Pengelolaan Risiko Bencana berbasis Komunitas (PRBBK) adalah salah satu pilar penting dalam upaya pengelolaan risiko bencana saat ini. PRBBK umum diterima oleh kalangan ahli bencana karena pendekatan struktural/fisik semata dan fokus pada kedaruratan serta pendekatan top-down, jarang memberikan hasil pada ranah pengurangan risiko bencana (PRB) yang berkelanjutan.

PRBBK memberikan jawaban yang mencakup beberapa prinsip seperti efisiensi karena idealnya memiliki biaya transaksi rendah disebabkan ada asupan lokal maksimum dan asupan eksternal minimum. Argumentasinya adalah bahwa ukuran-ukuran keberlanjutan seperti efektivitas, legitimasi (partisipasi), dan kesetaraan (equity) terpenuhi, sehingga menjamin keberlanjutan bila beberapa prosedur yang di tawarkan mampu dipenuhi.

PRBBK sejatinya adalah praktik lama yang kemudian dilembagakan dengan pengetahuan dan konsep yang lebih sistematis. Pada studi sejarah bencana maupun studi antropologi bencana (Oliver-Smith & Hoffman, 1999), ada banyak kasus menarik yang layak di pelajari, bagaiman pelembagaan untuk pengetahuan tentang mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap bencana telah berusia ratusan tahun dan terus dipraktikkan hingga hari ini.

Makna Penanggulangan Bencana
Pengertian bencana menurut INISDR (2009) adalah gangguan serius terhadap masyarakat atau komunitas yang menyebabkan terjadinya kehilangan jiwa, kerugian ekonomi, dan lingkungan secara luas, yang melebihi kemampuan masyarakat yang terkena dampak untuk menghadapinya dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.

Penanggulangan bencana adalah sebuah proses sistematis dengan menggunakan keputusan administratif, organisasi, keterampilan operasional, kapasitas implementasi, strategi dan kapasitas dari masyarakat dalam mengurangi dampak dari ancaman alam, lingkungan, maupun bencana teknologi. Hal ini meliputi segala kegiatan termasuk ukuran-ukuran struktural/non struktural dalam mengurangi ataupun membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak dari bencana yang mungkin timbul.

Di dalam Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2017, istilah di atas di samarkan dalam istilah; Penyelenggaraan penanggulangan bencana, yaitu serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang menyebabkan timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilalukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi bencana.

Makna penangulangan bencana (PB) telah mengalami evolusi seiring waktu. Dalam kategorisasi yang mutakhir, istilah “penanggulangan bencana” sering di artikan sebagai paradigma lama yang merespon bencana secara reaktif, sering dipadankan dengan terminologi pengelolaan kedaruratan.

Kalangan awam kerap menyamakan dengan pengelolaan risiko bencana atau disaster risk management (DRM), namun penyamaan ini merupakan sebuah penyederhanaan yang tidak tepat serta tidak menghargai perkembangan konseptual tentang bencana itu sendiri. Istilah seperti DRM sebenarnya telah populer dalam studi-studi bencana di Amerika Serikat pasca 1970-an (seperti Pusat Studi Bencana Universitas Delaware).

Pengurangan risiko total merupakan pada dasarnya adalah menerapkan prinsip kehati-hatian pada setiap tahapan manajemen atau pengelolaan risiko bencana; yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana. Pengelolaan risiko bencana merupakan suatu kerangka kerja konseptual berfokus pada pengurangan ancaman dan potensi kerugian dan bukan pada pengelolaan bencana dan konsekuensinya.

Prinsip kehati-hatian dimulai dari mencermati setiap bagian kegiatan yang berpotensi menjadi ancaman terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut perlahan maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana, sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan. 

Kejadian ini terjadi di luar kemampuan adaptasi masyarakat dengan sumber dayanya. Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu dipahami potensi risiko yang mungkin muncul, yaitu besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh bahaya tertentu di suatu daerah pada suatu waktu tertentu.

Risiko yang biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekwensi suatu bahaya. Jika potensi risiko pada pelaksanaan kegiatan jauh lebih besar manfaatnya, maka kehati-hatian perlu dilipat-gandakan.

Upaya mengurangi kerentanan yang melekat, yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekwensi (fisik, sosial, ekonomi dan prilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan pengelolaan risiko bencana.

Upaya-upaya penanggulangan bencana perlu dilakukan secara utuh. Upaya pencegahan (prevention) terhadap munculnya dampak adalah perlakuan utama. Untuk mencegah banjir maka perlu mendorong usaha masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah penebangan hutan.

Agar tidak terjadi kebocoran limbah, maka perlu disusun prosedur keselamatan dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah dilakukan, sementara peluang kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.

Upaya-upaya di atas perlu didukung dengan upaya kesiagaan (preparedness) yaitu melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siaga. Misalnya; penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi.

Didalam usaha kesiagaan ini dilakukan penguatan sistem peringatan dini (early warning system), yaitu upaya untuk memberikan peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi.

Upaya ini misalnya dengan membuat perangkat yang akan menginformasikan ke masyarakat apabila terjadi kenaikan kandungan unsur yang tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber ancaman.

Pemberian peringatan dini harus (1) menjangkau masyarakat (accesible), (2) segera (immediate), (3) tegas tidak membingungkan (coherent), (4) bersifat resmi (official)

Pada akhirnya jika bencana dari sumber ancaman terpaksa harus terjadi maka tindakan tanggap darurat (respone), yaitu upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dan mengurangi dampak lebih besar, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda.

Secara sinergis juga diperlukan bantuan darurat (relief), yaitu upaya memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa : pangan, sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih.

Agar dampak tidak berkepanjangan maka prosen pemulihan (recovery) kondisi lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak/bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan bukan sekedar memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar, puskesmas dll) tetapi termasuk fungsi-fungsi ekologis.

Upaya tersebut, dalam jangka pendek umumnya terdiri dar usaha rehabilitasi (rehabilitation), yaitu upaya untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi ekologis setelah bencana terjadi. Penyelesaian masalah lingkungan sejauh ini hanya melakukan tindakan fisik yang umumnya belum menyentuh rehabilitasi fungsi ekologis.

Selanjutnya rekonstruksi (reconstruction) merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.

Pengurangan Resiko Bencana
Dalam perkembangannya secara global, sejak dikumandangkannya dekade internasioanl pengurangan bencana (UNDR) yang kemudian dilanjutkan oleh strategi internasional pengurangan risiko bencana (ISDR), muncul istilah pengurangan risiko bencana (PRB) yang lebih memberikan pesan menguatkan penanggulangan bencana pada aspek antisipatif, preventif, dan mitigatif. Pada saat yang bersamaan terminologi-terminologi seperti penanggulangan bencana tidak lagi populer dan menjadi bagian dari status quo.

Definis INISDR menjadi acuan otoritatif tentang makna PRB. Dalam kumpulan istilah yang diterbitkan tahun 2009, PRB didefinisikan sebagai konsep dan praktik mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengelola faktor-faktor penyebab dari bencana termasuk dengan di kuranginya paparan terhadap ancaman, penurunan kerentanan manusia dan properti, pengelolaan lahan dan lingkungan yang bijaksana, serta meningkatkan kesiapsiagaan terhadap kejadian yang merugikan.

Komponen-komponen utama PRB meliputi: 1) Kesadaran tentang dan penilaian risiko, termasuk didalamnya analisis ancaman serta analisa kapasitas dan kerentanan; 2) Pengembangan pengetahuan termasuk pendidikan, pelatihan, penelitian dan informasi; 3) Komitmen kebijakan dan kerangka kelembagaan, termasuk organisasi, kebijakan, legislasi dan aksi komunitas; 4) Penerapan ukuran-ukuran PRB seperti pengelolaan lingkungan, tata guna lahan, perencanaan perkotaan, proteksi fasilitas-fasilitas sosial (critical facilities), penerapan ilmu dan teknologi, kemitraan dan jejaring, instrumen keuangan; dan 5) Sistem peringatan dini termasuk di dalamnya prakiraan, sebaran peringatan, ukuran-ukuran kesiapsiagaan, dan kapasitas respon (UNISDR, 2004)

Makna Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
Pengelolaan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK) atau Community Based Disaster Risk Management (CBDRM) adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat lokal.

Upaya tersebut memerlukan serangkaian upaya yang meliputi melakukan interpretasi sendiri atas ancaman dan risiko bencana yang dihadapinya, melakukan prioritas penanganan/pengurangan risiko bencana yang dihadapinya, mengurangi serta memantau dan mengevaluasi kinerja sendiri dalam upaya pengurangan bencana. Namun pokok dari keduanya adalah penyelenggaraan yang seoptimal mungkin memobilisasi sumber daya yang dimiliki dan yang dikuasainya serta merupakan bagian integral dari kehidupan keseharian komunitas (Paripurno, 2006a).

Pemahaman ini penting, karena masyarakat akar rumput yang berhadapan dengan ancaman bukanlah pihak yang tak berdaya sebagaimana dikonstruksikan oleh kaum teknokrat. Kegagalan dalam memahami hal ini berakibat pada ketidakber-lanjutan pengurangan risiko bencana di tingkat akar rumput/lokal. Bila agenda-agenda pengurangan bencana tidak lahir dari kesadaran atas kapasitas komunitas lokal serta prioritas yang dimiliki oleh komunitas maka upaya tersebut tidak mungkin berkelanjutan.(Disadur dari berbagai sumber).

*) Lahir di Kuningan 40 tahun yang lalu tepatnya di Desa Pagundan Kec. Lebakwangi – saat ini bekerja sebagai Community Base Adaptation (CBA) Specialist di Program Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan (APIK) USAID Regional Maluku.
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan