Hot News
18 Juni 2020

Streinsand Effect Vs Cukai Rokok

Penulis : Muhammad Abi Agdani

Apabila kita membahas soal rokok, mungkin sudah tidak heran bagi sebagian dari kita ada yang pro dan kontra tentang keberadaannya, narasi kontra memandang rokok sebagai penyebab berkurangnya kesehatan seseorang baik perokok aktif apalagi pasif, sedangkan narasi pro memandang rokok sebagai pemberi nafkah bagi banyak orang dari mulai petani tembakau, pelinting, pengemas, distributor, hingga penjual asongan, tak sedikit pula yang membahas rokok dari segi budaya dan memandang rokok sebagai bahasa pergaulan di tengah masyarakat.

Dalam pertimbangan yang demikian, tentu peran pemerintah pusat sangat diperlukan untuk merumuskan suatu kebijakan yang dapat menjembatani dua narasi tersebut. Di satu sisi kesehatan warga negara harus menjadi perhatian pemerintah, sementara di sisi lain, perekonomian pelaku usaha di bidang hasil tembakau juga tidak boleh dikesampingkan.

Coba kita bayangkan, pemerintah bisa saja membuat peraturan untuk melarang peredaran rokok di dalam negeri atau bahkan melarang produksinya, bisa saja, namun pada hari yang sama dimana peraturan tersebut diberlakukan akan ada ratusan ribu tenaga kerja di bidang hasil tembakau yang kehilangan pekerjaannya seketika, dari mulai petani tembakau sampai pedagang rokok asongan. Akhirnya grafik angka pengangguran meningkat tajam dan lapangan pekerjaan yang ada mungkin belum bisa menampung semuanya.

Di samping itu, apakah kita yakin dengan dilarangnya peredaran rokok akan membuat rokok benar-benar hilang di tanah Pertiwi? Saya pribadi tidak yakin. Dalam ilmu psikologi ada sebuah istilah yang dapat menjelaskan prinsip ini, ‘The Forbidden Fruit’ – namanya diinisiasi oleh kisah Nabi Adam AS.

‘Semakin dilarang, semakin dicari’ begitu kira-kira bahasa sederhananya dari prinsip tersebut, atau lebih tepatnya disebut dengan teori ‘Streinsand Effect’. Contoh nayatanya dapat kita lihat pada peredaran barang terlarang di Indonesia – contohnya narkoba. Narkoba memang sudah dilarang, namun peredarannya masih berlangsung secara sembunyi-sembunyi.

“Lantas kenapa tidak kita legalkan saja narkoba, seperti rokok?” dalam konteks ini, saya akan menjawab sependek pengetahuan saya pribadi, jawabannya karena dampak ‘merusak’ yang ada pada narkoba terlampau buas, setiap orang dapat kehilangan nyawa seketika saat meminum dalam dosis berlebih, padahal semakin lama pemakai terjerat narkoba maka dosisnya akan bertambah pula. Tak hanya itu, pemakaian narkoba dapat membuat orang kehilangan akal sehat dan mengakibatkan perbuatan asusila bahkan dapat berujung tindakan kriminal. Karenanya narkoba tidak diperlakukan sama seperti rokok dalam konteks ‘Streinsand Effect’.

“Lantas bagaimana pemerintah mengendalikan peredaran rokok?” jawabannya adalah dengan mekanisme Cukai.

Jika jumlah produsen rokok di Indonesia terlampau banyak, maka tentu rokok yang beredar di masyarakat akan begitu banyak dan tak terbendung sehingga berdampak pada memburuknya kesehatan masyarakat. Karenanya produsen rokok diwajibkan memiliki izin NPPBKC (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai) agar dapat dikontrol produksi serta pengeluarannya ke perdagangan bebas.

Selain itu produsen rokok juga harus sanggup membayarkan beberapa pungutan negara atas rokok yang akan dikeluarkannya, pungutan-pungutan tersebut diantaranya Cukai, Pajak Rokok, dan PPN Hasil Tembakau. Pungutan-pungutan tersebut merupakan pajak tidak langsung, artinya tetap dibebankan kepada konsumen akhir, namun pembayarannya ke rekening kas negara dibayarkan oleh produsen.

Dengan diwajibkannya produsen untuk memiliki NPPBKC, tentu ada sejumlah persyaratan tertentu yang harus dipenuhi produsen untuk mendapatkan izin tersebut. Pemerintah bertujuan agar hanya produsen tertentu yang melakukan produksi rokok, sehingga peredaran rokok di pasar bebas dapat ditekan.

Selain itu dengan dibebankannya Cukai, Pajak Rokok, dan PPN Hasil Tembakau pada konsumen akhir tentu akan mebuat harga rokok berada di ambang daya beli masyarakat dewasa – ini adalah istilah yang saya buat sendiri untuk menggambarkan bahwa harga suatu barang masih terjangkau oleh orang dewasa namun sudah tidak terjangkau bagi usia di bawah umur.

Tujuannya jelas untuk membuat rokok hanya bisa dibeli dan dikonsumsi oleh orang dewasa yang umumnya sudah berpenghasilan, dan bukan dibeli dan dikonsumsi oleh anak di bawah umur yang masih mendapatkan uang jajan dari orang tuanya, jika pada jaman sekarang rokok masih terjangkau harganya untuk dibeli dan dikonsumsi oleh anak di bawah umur maka dalam hemat saya akan sangat tepat jika pemerintah menaikkan tarif cukai sampai harga jual ecerannya tidak dapat lagi dijangkau oleh anak di bawah umur.

Namun dengan mekanisme yang demikian, streinsand effect masih terjadi pada rokok ilegal. Karena harga rokok dianggap mahal oleh sebagian orang, praktek jual beli rokok ilegal masih saja terjadi dalam berbagai modus.

Di antaranya yang membuat rokok disebut ilegal adalah (1) pada bungkusnya tidak dilekati pita cukai, (2) pada bungkusnya dilekati pita cukai palsu, (3) pada bungkusnya dilekati pita cukai bekas, atau (4) pada bungkusnya dilekati pita cukai yang salah peruntukan atau personalisasi.

Dengan mekanisme cukai, setiap peredaran rokok dengan kategori seperti di atas akan ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang, Bea Cukai, Satpol PP, maupun kepolisian setempat, bahkan sanksinya tidak tanggung-tanggung, pidana, sebagaimana diatur dalam UU nomor 11 tahun 1995 sebagaimana diubah dengan UU nomor 39 tahun 2007 tentang Cukai.

Tentu akan lain cerita jika rokok secara penuh dilarang peredarannya dan bukan diregulasi seperti sekarang, tugas aparat yang berwenang akan semakin berat dalam upaya pemberantasan rokok ilegal sedangkan anggaran yang disediakan negara dalam pemberantasan rokok ilegal tidak tersedia karena tidak ada penerimaan cukai.

Sebagai informasi, penerimaan cukai selalu dikembalikan kepada masyarakat melalui Pemda melalui mekanisme DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau), dan salah satu peruntukan DBHCHT adalah untuk mendukung upaya pemberantasan rokok ilegal.

Pada kesimpulannya, dapat kita ketahui jika pemerintah tidak ingin streinsard effect terjadi secara masif pada produk hasil tembakau (salah satunya rokok). Alih-alih melarang dan malah membuat peredaran rokok tidak terkontrol, mekanisme cukai dipilih untuk menekan peredaran rokok di pasar bebas.***
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Streinsand Effect Vs Cukai Rokok Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan