Hot News
22 Oktober 2017

Andai Aku jadi Menteri Pemberdayaan Perempuan

Oleh : Putri Nur Chasanah
(Kadept. Bidang Perempuan KAMMI Kuningan, Jawa Barat)


Sukacita yang sesungguhnya bagi manusia adalah
saling berperilaku ramah kepada sesama,
sehingga masing-masing mendapatkan kemurahan hati
… Aurelius

Banyak permasalahan perempuan dan anak yang dihadapi oleh bangsa ini dan tak mungkin bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Sekalipun satu pihak itu adalah menteri pemberdayaan perempuan dan segala jajarannya. Jika diibaratkan permasalahan perempuan bangsa ini sudah seperti benang kusut yang hanya bisa diperbaiki dengan memotong bagian-bagian yang kusut. Tapi permasalahan negara tidak mungkin diselesaikan dengan semudah memotong bagian benang yang kusut tersebut.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (10,90 persen berbanding 4,92 persen). Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara 11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta aksara 5,34 persen. Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara di daerah perdesaan jauh lebih besar daripada perkotaan (15,42 persen berbanding 6,99 persen).

Permasalahan perempuan bangsa ini tidak sengaja terfikirkan oleh gadis belia yang haus akan ilmu. Ini hanyalah tulisan anak dari seorang ibu yang sedikit pengalamannya tentang sekolah dan pendidikan. Ibu saya menikmati bangku sekolah hingga tingkat menengah pertama saja. Berbeda dengan anak-anak jaman sekarang yang bersekolah harus sampai sekolah menengah atas bahkan menuntut untuk kuliah. 

Sekolah di masa ibu yang masih terkotak-kotak antara si kaya dan miskin, antara anak pejabat konglomerat dengan rakyat yang hanya modal urat. Apalagi masih sangat terlihatnya bentuk ketidakadilan gender laki-laki dan perempuan yang tersisishkan waktu itu.
  
Tapi apakah beliau menuntut? Tidak, ibu saya adalah perempuan yang pasrah pada nasib. Bukan karena ia tidak mau sekolah pada zamannya, melainkan karena ia tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi. Kemiskinan yang memaksanya hanya merasakan pendidikan wajib belajar sembilan tahun yang saat itu belum menjadi program pemerintah. Selesai di sekolah menengah pertama kemudian mencari nafkah sebagai pembantu rumah tangga di kota. Saya yakin sekali masih sangat banyak ‘ibu saya’ yang lain di wilayah nusantara ini.

Tidak hanya ibu saya, puluhan bahkan ratusan perempuan di desa saya juga memiliki masa lalu yang sama seperti ibu saya. Salah siapa? Sekali lagi saya tidak menyalahkan pihak mana pun dalam hal ini. Berteriak sebagaimana pun saya, tidak akan bisa mengubah masa lalu mereka tetap pada masa kini mereka.

Masalah pendidikan perempuan di masa lalu menjadi salah satu penyebab kecil permasalahan bangsa ini yang makin hari makin menjadi benang kusut. Rendahnya pendidikan perempuan masa dulu melahirkan putra putri bangsa yang sedikit pengajaran dasar dari orang tua terutama ibu. Padahal kita sama sama tau bahwa ibu adalah Almadrosatul ula atau madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Dua puluh tahun berlalu dari gadis nya ibu yang memutuskan nikah muda waktu itu dan kini saya sudah menjadi gadis dan mahasiswa menuju semester akhir.  Dua puluh tahun jarak ibu melahirkan hingga saya menjadi sebesar ini tentu banyak hal telah berubah. Kebijakan pemerintah, keadaan sosial ekonomi, kesehatan yang makin merakyat dan tentunya sistem pendidikan yang jauh melesat dan maju. 

Dan dua puluh tahun berlalu perubahan pasti yang saya tau adalah program pemerintah dalam pemberdayaan perempuan yang jauh lebih baik dan menunjukkan tingkat progresif yang tinggi dimulai pada reformasi tahun 1998 lalu.

Sebanding dengan progresifnya pemberdayaan perempuan di era reformasi, pelabelan negatif pada perempuan masih saja dilakukan atas dasar anggapan gender. Pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan seperti perempuan dianggap cengeng dan suka digoda, perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan dan laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Tentu masalah-masalah perempuan tidak begitu saja selesai dengan datangnya reformasi.

Berdasarkan laporan Human Development Report Indonesia 2004, angka Human Development Index (HDI) Indonesia 65,8, angka Gender-related Development Index (GDI) 59,2, dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) 54,6. Tingginya angka HDI, jika dibandingkan dengan angka GDI, menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan sumber daya manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembangunan gender, atau masih terdapat kesenjangan gender, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan.

Sementara itu, rendahnya angka GEM menunjukkan bahwa partisipasi dan kesempatan perempuan masih rendah di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan.

Maka sekali lagi saya katakan bahwa permasalahan perempuan ini tidak akan terselesaikan oleh satu pihak, oleh menteri pemberdayaan perempuan. Kontribusi yang dilakukan seluruh warga negara itu akan sangat berarti, sekalipun yang dilakukan hanyalah hal kecil seperti tidak membedakan hak pendidikan anak laki-laki dan perempuan.

Ketika suatu hari saya berkhayal menjadi seorang menteri pemberdayaan perempuan yang langsung terbersit di pikiran saya saat itu adalah bahwa sebenarnya perempuan Indonesia pada dasarnya adalah manusia-manusia yang peduli dengan pendidikan dan ingin memperjuangkan hak hidupnya, tapi kadang kebijakan pemerintah dan pelabelan publik yang menghambat pikiran mereka untuk berkontribusi sampai akhirnya mereka menjadi tak acuh dengan kondisi sekitarnya lagi bahkan dirinya sendiri.

Saya ingin mereka bisa berkontribusi, bisa merasakan hak yang sama tanpa adanya ketidakadilan gender baik secara personal maupun secara berkelompok.

Meskipun kita sama-sama tahu bahwa di tahun 2016 ini  hak perempuan memang sudah hampir sama dengan laki-laki. Kenapa saya katakan hampir? Karena saya tau di beberapa pojok daerah timur Indonesia masih banyak hak perempuan yang harus di perjuangkan.

Realita yang terlihat oleh kita memang hak perempuan dan laki-laki sudah sama, banyak bukti untuk menjelaskan nya. Presiden ke 6 RI adalah seorang wanita yaitu Ibu Megawati, ketika keluar rumah pun tak banyak kita jumpai seperti penjual asongan keliling, supir taxi, pegawai kantor,  bahkan tukang bengkel sekalipun adalah seorang wanita.

Maka munculah pertanyaan apakah itu sebuah kebebasan gender atau tuntutan hidup yang menjadikan mereka seperti demikian?

Ketika saya nantinya menjadi menteri pemberdayaan perempuan saya ingin seluruh masyarakat merasa bahwa mereka semua bisa berkontribusi. Tidak hanya menunggu hasil buruan dari induknya, tapi juga bisa berburu sendiri. Kita bisa melihat bahwa saat ini gerakan-gerakan sosial sudah begitu menjamur dimasyarakat, mereka melakukan hal-hal kebaikan tanpa pamrih. Satu hal yang mampu menggerakan mereka, yaitu rasa kepedulian. Saya pun menginginkan demikian, saya ingin tiap warga negara memiliki rasa kepedulian yang sama dan sebagai menteri kesehatan saya akan mendukung semua kontribusi mereka sekalipun kontribusi tersebut hanya dalam lingkup yang sempit.

Permasalahan perempuan masa kini bisa dikerucutkan menjadi tiga hal yaitu kekerasan terhadap perempuanan anak, perdagangan manusia (human trafficking) dan kesenjangan ekonomi. Ini merupakan program unggulan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Andai saya nanti menjadi menteri perempuan saya tentu akan melanjutkan 3 end KPPPA ini.

Poin satu mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak bahwa ternyata tindak kekerasan tidak hanya merupakan masalah individual atau masalah nasional saja, tetapi sudah merupakan masalah global, bahkan transnasional. Di dalam masyarakat umumnya dikenal beberapa istilah yang berkaitan dengan kekerasa, seperti antara lain, “violence against women, “gender based violence”, “gender violence”, “domestic violence” yang korbannya adalah peremuan, sementara bagi anak-anak dikenal juga istilah,  “working children”, “street childern”, “childern in armed conflict”, “urban war zones”, dan sebagainya.

Data yang akurat belum tersedia karena banyak kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang tidak dilaporkan, dengan anggapan bahwa masalah tersebut adalah masalah domestik keluarga yang tidak perlu diketahui orang lain. Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RS Cipto Mangunkusumo yang didirikan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terus meningkat dari 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003. Dari jumlah kasus tersebut, hampir 50 persen adalah korban kekerasan seksual, sekitar 47 persen korban adalah anak-anak (di bawah usia 18 tahun), dan sekitar 74 persen korban berpendidikan SD hingga SLTA.

Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai manusia, perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan  manusia lainnya dimuka bumi ini,  yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak yang melekat (inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu manusia (perempuan dan anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar.

Poin dua mengenai perdagangan manusia (Human Trafficking) bukan lagi hal yang baru, tetapi sudah menjadi masalah nasional dan internasional yang berlarut-larut, yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tepat, baik oleh pemerintah setiap Negara, maupun oleh organisasi-organisasi internasional yang berwenang dalam menangani masalah perdagangan manusia tersebut. 

Perdagangan manusia (Human Trafficking) berkaitan erat dengan hubungan antar negara, karena perdagangan tersebut biasanya dilakukan di daerah perbatasan negara dan modus operasi yang dilakukan adalah pengiriman ke berbagai negara penerima seperti Malaysia dan Singapura. Lemahnya penjagaan dan keamanan daerah perbatasan menjadikan faktor utama perdagangan manusia, sehingga dengan mudah seseorang dapat melakukan transaksi perdagangan tersebut.

        Dan poin terakhir mengenai kesenjangan ekonomi. Pelabelan perempuan yang hanya mencari nafkah tambahan membuat banyak perempuan menjadi pasif dan tidak produktif. Masalah ekonomi ini merupakan masalah dasar dari kejahatan dan kriminalitas yang ada. Pencurian, KDRT, pembunuhan sampai perdagangan anak pun bermula dari masalah ekonomi.

         Andai saya menjadi menteri pemberdayaan perempuan nanti, langkah-langkah yang akan saya ambil untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan perempuan adalah Penyusunan profil gender untuk mengidentifikasi faktor-faktor kesenjangan gender di 200 kabupaten/ kota

      Meningkatkan upaya pelindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya. Serta Follow up implementasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A).***



  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Andai Aku jadi Menteri Pemberdayaan Perempuan Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan