Oleh : Putri Nur Chasanah
(Kadept. Bidang Perempuan KAMMI Kuningan, Jawa Barat)
Sukacita yang sesungguhnya bagi
manusia adalah
saling berperilaku ramah kepada
sesama,
sehingga masing-masing mendapatkan kemurahan
hati
… Aurelius
Banyak permasalahan perempuan dan
anak yang dihadapi oleh bangsa ini dan tak mungkin bisa diselesaikan oleh satu
pihak saja. Sekalipun satu pihak itu adalah menteri pemberdayaan perempuan dan
segala jajarannya. Jika diibaratkan permasalahan perempuan bangsa ini sudah
seperti benang kusut yang hanya bisa diperbaiki dengan memotong bagian-bagian
yang kusut. Tapi permasalahan negara tidak mungkin diselesaikan dengan semudah
memotong bagian benang yang kusut tersebut.
Berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia
10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat
penduduk laki-laki (10,90 persen berbanding 4,92 persen). Penduduk perempuan
usia 10 tahun ke atas yang buta aksara 11,71 persen, sedangkan penduduk
laki-laki yang buta aksara 5,34 persen. Penduduk perempuan usia 10 tahun ke
atas yang buta aksara di daerah perdesaan jauh lebih besar daripada perkotaan
(15,42 persen berbanding 6,99 persen).
Permasalahan perempuan bangsa ini
tidak sengaja terfikirkan oleh gadis belia yang haus akan ilmu. Ini hanyalah
tulisan anak dari seorang ibu yang sedikit pengalamannya tentang sekolah dan
pendidikan. Ibu saya menikmati bangku sekolah hingga tingkat menengah pertama
saja. Berbeda dengan anak-anak jaman sekarang yang bersekolah harus sampai
sekolah menengah atas bahkan menuntut untuk kuliah.
Sekolah di masa ibu yang
masih terkotak-kotak antara si kaya dan miskin, antara anak pejabat konglomerat
dengan rakyat yang hanya modal urat. Apalagi masih sangat terlihatnya bentuk
ketidakadilan gender laki-laki dan perempuan yang tersisishkan waktu itu.
Tapi apakah beliau menuntut? Tidak, ibu saya
adalah perempuan yang pasrah pada nasib. Bukan karena ia tidak mau sekolah pada
zamannya, melainkan karena ia tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam
pendidikan lebih tinggi. Kemiskinan yang memaksanya hanya merasakan pendidikan
wajib belajar sembilan tahun yang saat itu belum menjadi program pemerintah. Selesai
di sekolah menengah pertama kemudian mencari nafkah sebagai pembantu rumah
tangga di kota. Saya yakin sekali masih sangat banyak ‘ibu saya’ yang lain di
wilayah nusantara ini.
Tidak hanya ibu saya, puluhan bahkan
ratusan perempuan di desa saya juga memiliki masa lalu yang sama seperti ibu
saya. Salah siapa? Sekali lagi saya tidak menyalahkan pihak mana pun dalam hal
ini. Berteriak sebagaimana pun saya, tidak akan bisa mengubah masa lalu mereka tetap
pada masa kini mereka.
Masalah pendidikan perempuan di masa
lalu menjadi salah satu penyebab kecil permasalahan bangsa ini yang makin hari
makin menjadi benang kusut. Rendahnya pendidikan perempuan masa dulu melahirkan
putra putri bangsa yang sedikit pengajaran dasar dari orang tua terutama ibu.
Padahal kita sama sama tau bahwa ibu adalah Almadrosatul
ula atau madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Dua puluh tahun berlalu dari gadis
nya ibu yang memutuskan nikah muda waktu itu dan kini saya sudah menjadi gadis
dan mahasiswa menuju semester akhir. Dua
puluh tahun jarak ibu melahirkan hingga saya menjadi sebesar ini tentu banyak
hal telah berubah. Kebijakan pemerintah, keadaan sosial ekonomi, kesehatan yang
makin merakyat dan tentunya sistem pendidikan yang jauh melesat dan maju.
Dan dua puluh tahun berlalu
perubahan pasti yang saya tau adalah program pemerintah dalam pemberdayaan
perempuan yang jauh lebih baik dan menunjukkan tingkat progresif yang tinggi
dimulai pada reformasi tahun 1998 lalu.
Sebanding dengan progresifnya
pemberdayaan perempuan di era reformasi, pelabelan negatif pada perempuan masih
saja dilakukan atas dasar anggapan gender. Pelabelan negatif ditimpakan kepada
perempuan seperti perempuan dianggap cengeng dan suka digoda, perempuan tidak
bisa mengambil keputusan penting, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan
pencari nafkah tambahan dan laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Tentu
masalah-masalah perempuan tidak begitu saja selesai dengan datangnya reformasi.
Berdasarkan laporan Human
Development Report Indonesia 2004, angka Human Development Index
(HDI) Indonesia 65,8, angka Gender-related Development Index (GDI) 59,2,
dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) 54,6. Tingginya angka
HDI, jika dibandingkan dengan angka GDI, menunjukkan bahwa keberhasilan
pembangunan sumber daya manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti
dengan keberhasilan pembangunan gender, atau masih terdapat kesenjangan gender,
terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan.
Sementara itu, rendahnya angka GEM
menunjukkan bahwa partisipasi dan kesempatan perempuan masih rendah di bidang
politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan.
Maka sekali lagi saya katakan bahwa
permasalahan perempuan ini tidak akan terselesaikan oleh satu pihak, oleh
menteri pemberdayaan perempuan. Kontribusi yang dilakukan seluruh warga negara
itu akan sangat berarti, sekalipun yang dilakukan hanyalah hal kecil seperti
tidak membedakan hak pendidikan anak laki-laki dan perempuan.
Ketika suatu
hari saya berkhayal menjadi seorang menteri pemberdayaan perempuan yang langsung
terbersit di pikiran saya saat itu adalah bahwa sebenarnya perempuan Indonesia
pada dasarnya adalah manusia-manusia yang peduli dengan pendidikan dan ingin
memperjuangkan hak hidupnya, tapi kadang kebijakan pemerintah dan pelabelan
publik yang menghambat pikiran mereka untuk berkontribusi sampai akhirnya
mereka menjadi tak acuh dengan kondisi sekitarnya lagi bahkan dirinya sendiri.
Saya ingin
mereka bisa berkontribusi, bisa merasakan hak yang sama tanpa adanya ketidakadilan
gender baik secara personal maupun secara berkelompok.
Meskipun
kita sama-sama tahu bahwa di tahun 2016 ini
hak perempuan memang sudah hampir sama dengan laki-laki. Kenapa saya
katakan hampir? Karena saya tau di beberapa pojok daerah timur Indonesia masih
banyak hak perempuan yang harus di perjuangkan.
Realita yang
terlihat oleh kita memang hak perempuan dan laki-laki sudah sama, banyak bukti
untuk menjelaskan nya. Presiden ke 6 RI adalah seorang wanita yaitu Ibu
Megawati, ketika keluar rumah pun tak banyak kita jumpai seperti penjual
asongan keliling, supir taxi, pegawai kantor, bahkan tukang bengkel sekalipun adalah seorang
wanita.
Maka munculah
pertanyaan apakah itu sebuah kebebasan gender atau tuntutan hidup yang
menjadikan mereka seperti demikian?
Ketika saya
nantinya menjadi menteri pemberdayaan perempuan saya ingin seluruh masyarakat
merasa bahwa mereka semua bisa berkontribusi. Tidak hanya menunggu hasil buruan
dari induknya, tapi juga bisa berburu sendiri. Kita bisa melihat bahwa saat ini
gerakan-gerakan sosial sudah begitu menjamur dimasyarakat, mereka melakukan
hal-hal kebaikan tanpa pamrih. Satu hal yang mampu menggerakan mereka, yaitu
rasa kepedulian. Saya pun menginginkan demikian, saya ingin tiap warga negara
memiliki rasa kepedulian yang sama dan sebagai menteri kesehatan saya akan
mendukung semua kontribusi mereka sekalipun kontribusi tersebut hanya dalam
lingkup yang sempit.
Permasalahan perempuan masa kini
bisa dikerucutkan menjadi tiga hal yaitu kekerasan terhadap perempuanan anak, perdagangan
manusia (human trafficking) dan kesenjangan ekonomi. Ini merupakan program
unggulan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Andai saya
nanti menjadi menteri perempuan saya tentu akan melanjutkan 3 end KPPPA ini.
Poin satu mengenai kekerasan
terhadap perempuan dan anak bahwa ternyata tindak kekerasan tidak hanya
merupakan masalah individual atau masalah nasional saja, tetapi sudah merupakan
masalah global, bahkan transnasional. Di dalam masyarakat umumnya dikenal
beberapa istilah yang berkaitan dengan kekerasa, seperti antara lain, “violence
against women, “gender based violence”, “gender violence”, “domestic violence”
yang korbannya adalah peremuan, sementara bagi anak-anak dikenal juga istilah, “working
children”, “street childern”, “childern in armed conflict”, “urban war zones”,
dan sebagainya.
Data yang akurat belum tersedia
karena banyak kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang
tidak dilaporkan, dengan anggapan bahwa masalah tersebut adalah masalah
domestik keluarga yang tidak perlu diketahui orang lain. Data Pusat Krisis
Terpadu (PKT) RS Cipto Mangunkusumo yang didirikan pada tahun 2000 menunjukkan
bahwa jumlah kasus kekerasan terus meningkat dari 226 kasus pada tahun 2000
menjadi 655 kasus pada tahun 2003. Dari jumlah kasus tersebut, hampir 50 persen
adalah korban kekerasan seksual, sekitar 47 persen korban adalah anak-anak (di
bawah usia 18 tahun), dan sekitar 74 persen korban berpendidikan SD hingga
SLTA.
Dalam konteks perlindungan HAM,
sebagai manusia, perempuan dan anak juga memiliki hak yang sama dengan
manusia lainnya dimuka bumi ini, yakni hak yang dipahami sebagai hak-hak
yang melekat (inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa
itu manusia (perempuan dan anak) tidak dapat hidup sebagai manusia secara
wajar.
Poin dua mengenai perdagangan manusia
(Human Trafficking) bukan lagi hal yang baru, tetapi sudah menjadi
masalah nasional dan internasional yang berlarut-larut, yang sampai saat ini
belum dapat diatasi secara tepat, baik oleh pemerintah setiap Negara, maupun
oleh organisasi-organisasi internasional yang berwenang dalam menangani masalah
perdagangan manusia tersebut.
Perdagangan manusia (Human Trafficking)
berkaitan erat dengan hubungan antar negara, karena perdagangan tersebut
biasanya dilakukan di daerah perbatasan negara dan modus operasi yang dilakukan
adalah pengiriman ke berbagai negara penerima seperti Malaysia dan Singapura.
Lemahnya penjagaan dan keamanan daerah perbatasan menjadikan faktor utama
perdagangan manusia, sehingga dengan mudah seseorang dapat melakukan transaksi
perdagangan tersebut.
Dan poin terakhir mengenai kesenjangan ekonomi. Pelabelan perempuan yang hanya mencari nafkah tambahan membuat banyak perempuan menjadi pasif dan tidak produktif. Masalah ekonomi ini merupakan masalah dasar dari kejahatan dan kriminalitas yang ada. Pencurian, KDRT, pembunuhan sampai perdagangan anak pun bermula dari masalah ekonomi.
Andai saya menjadi menteri pemberdayaan perempuan nanti, langkah-langkah yang akan saya ambil untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan perempuan adalah Penyusunan profil gender untuk mengidentifikasi faktor-faktor kesenjangan gender di 200 kabupaten/ kota
Meningkatkan upaya pelindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya. Serta Follow up implementasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A).***
Andai saya menjadi menteri pemberdayaan perempuan nanti, langkah-langkah yang akan saya ambil untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan perempuan adalah Penyusunan profil gender untuk mengidentifikasi faktor-faktor kesenjangan gender di 200 kabupaten/ kota
Meningkatkan upaya pelindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya. Serta Follow up implementasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A).***
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.