Hot News
4 Juni 2018

Sampah, Budaya dan Kekuasaan

oleh: Ukas Suharfaputra 

Penulis adalah Peminat Filsafat Sosial, Dosen Universitas Kuningan


Sampah adalah kata yang menunjuk pada sesuatu yang tidak lagi bermanfaat, tidak lagi dibutuhkan: useless. Sampah di kita biasanya terserak tak terurus, bertebaran di tempat sampah, bahkan ditempat-tempat yang seharusnya bukan tempat sampah. 

Secara sederhana fenomena ini dipandang sebagai akibat dari perilaku umum yang tidak cinta kebersihan dan ketiadaan tata kelola lingkungan yang baik. Namun, sebenarnya hal itu memiliki akar penjelasan yang lebih dalam, yang memantulkan informasi mengenai jati diri kita sebagai manusia dan bangsa.

Ada permasalahan dalam budaya atau kebudayaan kita. Kesadaran dan tindakan kolektif kita sangat peduli pada hal yang serba “cepat menghasilkan” dan paling tinggi memberikan “pemuasan kebutuhan”. Ini terkait dengan pemenuhan beragam kebutuhan ekonomis-material. Kehidupan umumnya dipandu oleh angan-angan kepuasan material: mendapatkan uang, mendapatkan barang yang diidamkan, menumpuk kekayaan dan lainnya secara cepat. Kolektifitas kita dicirikan oleh karakter Homo Economicus yang gandrung pada pemaksimuman keuntungan dan pemaksimuman kepuasan. 

Implikasinya, yang menjadi pusat perhatian adalah input, proses dan output yang dirancang dengan ketat, umpamanya bagaimana strategi yang harus ditempuh untuk memperoleh untung? menjadi kaya? apa yang harus disiapkan untuk itu? dan lain-lain. Hal-hal yang bersifat hasil sampingan atau residual sedikit diperhatikan. 

Budaya kita adalah berpikir jangka pendek, mengejar, memiliki, dan melahap apa-pun yang memberi pemuasan. Bersikap hirau pada akibat, berpikir jangka panjang, membangun alternatif rencana dan dampak, adalah sikap yang sedikit mengisi relung budaya kita.

Dalam kondisi ini, perhatian terhadap sesuatu yang unintended, unplanned dan bersifat laten sangat sedikit. Sampah dan kebersihan lingkungan dianggap hasil sampingan yang tidak segera memberikan akibat kongritnya (negatif atau positif).

Tumpukan sampah bukanlah hantaman air bah tsunami, tidak akan ada orang yang akan mati pada saat itu juga karenanya. Demikian juga dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan. Ini bukanlah kemenangan lotre yang bisa membuat kaya mendadak. Kebersihan lingkungan tidak dengan seketika membuat rasa sehat kita meningkat berlipat.

Pengaruh dan kepentingannya lenyap dan tak terjangkau dalam mind set budaya yang gandrung akan hasil-hasil instan. Sampah dan eksistensi lingkungan-pun terlempar dalam pinggiran gelap kebudayaan kita.

Kita melahap barang konsumsi tanpa henti. Kita pun memproduksinya terus untuk memperoleh untung dari mereka yang tidak mau berhenti melahapnya. Sementara itu, kita biarkan sampah yang menyertainya menumpuk, tanpa khawatir lambat laun akan tumbuh menjadi monster yang siap mengancam kita.

Keadaan tambah merisaukan bila horison pandang diperluas. Masyarakat kita ternyata tidak hanya semangat mengunyah benda-benda nyata, namun hal abstrak pun dilahap—sejauh menunjang pemuasan material--- terutama yang berbau asing.

Ilmu Pengetahuan, Teknologi, ideologi, pola perilaku, bahkan cara berpikir dari luar diinstal dalam benak dan dikunyah lembut hingga meresap menjadi bagian dari kepribadian dan budaya kita. Lagi-lagi, tanpa sedikitpun kita risau dengan sampah-sampah kepribadian dan sampah kebudayaan yang dihasilkannya. Kita telan bulat revolusi media dan informasi tanpa bisa mengantisipasi pornografi, hacking, penghancuran privacy, individualisme, dan konsumerisme selaku sampah-sampah beracun yang dihasilkannya. Kita pun menangkap bulat-bulat demokrasi tanpa pernah memperhitungkan anarki, Timocracy (isme kekuasaan ditangan uang), dan konflik sipil yang meruyak sebagai sampah-sampahnya.

Kita telah memasukan dan mengunyah segala hal, dan lambat laun menimbun diri dengan sampah-sampah dan kotoran kita sendiri. Sampah budaya tidak menghilangkan nyawa, namun bisa menghilangkan identitas budaya. 

Suatu bangsa bisa menjadi bangsa zombie karenanya: tetap hidup namun dengan nyawa budaya bangsa lain.
Kita pun memiliki permasalahan menyangkut kekuasaan (negara). Kepedulian kekuasaan bias pada dua hal, penciptaan hasil-hasil nyata dalam jangka pendek dan pelestarian kekuasaan itu sendiri.

Oleh karena itu, yang dominan mengemuka dalam manifestasi kekuasaan negara adalah mengejar pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, komersialisasi, dan lain-lain yang sejenis. Semuanya adalah target kongkrit yang langsung bisa dinikmati dan secara politis memberikan dasar penilaian keberhasilan. target ini dikelola dengan sangat serius sebagai kendaraan untuk menghasilkan efek populis-politis sebesar mungkin.

Efek ini diarahkan untuk menghasilkan dukungan publik terhadap rejim penguasa sehingga kekuasaan yang digenggamnya dapat langgeng. Kekuasaan memiliki dua wajah (Duverger, 1982), yaitu wajah pemakmuran rakyat yang suci dan wajah pelanggengan kekuasaan yang profan. Nampaknya yang lebih condong diperankan adalah wajah yang kedua.

Hal yang kurang nyata, tidak berdampak pada akumulasi kapital negara dan tidak memberikan efek populis---walaupun bermanfaat bagi rakyat--- sedikit diperhatikan. Karenanya persoalan sampah dan lingkungan---dalam pengertian fisik dan abstrak--- berada diluar jangkauan kebijakan publik yang serius. Hal itu berada dalam wilayah sekunder, sehingga kalaupun diangkat cenderung hanya retoris-normatif.

Pada titik ini, kita melihat mekanisme yang saling menguatkan antara kekuasaan dan budaya menumpuk sampah. Intensitas komersialisasi, kapitalisasi, teknologisasi, dan pacuan pertumbuhan (growth) yang digenjot kekuasaan bertemu bak gayung bersambut dengan mind-set masyarakat yang lapar konsumsi dan gandrung akan hasil instan. Apa yang didorong kekuasaan segera ditangkap dan dilahap massa.

Budaya menimbun sampah pun semakin diperkuat. Karena respon masyarakat tinggi, maka rejim kekuasaan yang mengejar insentif pelanggengan kekuasaan semakin bersemangat untuk mengenjot pacuan pertumbuhan lebih kuat dan lebih kuat lagi. Maka kekuasaan dan budaya massa semakin kuat menari dalam sirkuit penciptaan sampah yang tiada henti. Keduanya menyatu dalam self-reinforcement, masing-masing semakin kuat karena saling menguatkan satu sama lain.

Air bah barang konsumsi, pola pikir dan ideologi, komodifikasi (pengkomoditian semua hal (Turner, 2008)) dan komersialisasi membanjiri kita dari segala penjuru. Betapa mengejutkan, bangsa kita hampir mirip seperti wadah sampah, yang merangkul dan mewadahi semua hal tanpa saringan. Kenyataan yang dihadapi semakin baur dan membingungkan: sampah-sampah bukan hanya dibiarkan, tapi kekuasaan dan budaya kita memang gemar dan semangat untuk terus menciptakannya.

Lebih mengerikan lagi kita mungkin sudah mulai melangkah untuk memakan sampah-sampah kita sendiri.

Betapa banyak orang yang nyata-nyata telah menganut hedonisme, materialisme, dan terorisme---bukankan ini sampah?--- sebagai pandangan hidupnya. Kita patut was-was jangan-jangan kita adalah sampah itu sendiri. Adakah yang lebih buruk dari menjadi manusia dan bangsa sampah?***
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Sampah, Budaya dan Kekuasaan Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan