Hot News
22 Februari 2020

Konsep Filsafat Übermensch Sebagai Fondasi Gairah Eksploitasi Lingkungan

Mahasiswa Ilmu Lingkungan

suarakuningan - Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai animal rationale, atau yang berarti hewan yang berpikir. Kemampuan berpikir merupakan identitas fundamental yang membedakan antara manusia dan makhluk lain.

Hal ini dibuktikan dengan adanya dimensi khusus untuk manusia (antroposfer) yang membuatnya terpisah dengan dimensi makhluk hidup lain (biosfer), meski pada dasarnya, secara jasmaniah, manusia dibangun atas konstruksi fisik yang mampu digeneralisasi dengan makhluk material jenia apa pun.

Keberadaan rationale atau kemampuan berpikir analitis tetap saja dipengaruhi oleh dimensi berpikir lainnya. Bisa kita tinjau secara sederhana bagaimana otak manusia itu dibagi menjadi tiga menurut Paul D. MacLean: (1) R-complex (2) Limbic System (3) Neo-Cortex. 

R-Complex merupakan otak reptilia, fungsinya adalah berpikir melalui sensor fisikal yang dimiliki manusia. Misalnya, sensor terhadap bahaya yang menstimulasi bahaya fisik dan mengatur gerak refleks tubuh manusia. Limbic Sysytem merupakan otak mamalia, fungsinya adalah berpikir secara emosional. Bagian otak ini juga mengkonstruksi ragam kebutuhan jasmaniah manusia seperti rasa lapar, dorongan seksual, kesenangan, dan sejenisnya. Neo-Cortex merupakan otak manusia. Persentasenya sekitar 80% dari volume otak manusia. Fungsinya adalah untuk berpikir analitis, produksi verbal, interpretasi visual, dan sejenisnya. Ketiga dimensi berpikir manusia ini adalah instrumen holistik bagi manusia untuk dapat menyerap informasi, baik dari fenomena yang terjadi di dunia eksternal maupun internal.

Karena 80% penggunaan dimensi berpikir manusia adalah Neo-Cortex, yang artinya manusia cenderung berpikir analitis (inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya), maka terjadilah konstruksi berpikir mendalam berupa analisis dan idealisme. Analisis cenderung kepada dorongan pemikiran manusia secara matematis dan/atau empiris, sedangkan idealisme cenderung merupakan pemikiran yang didasari prinsip, baik itu prinsip saintifik maupun filosofis.

Tulisan ini akan saya kerucutkan pada pembahasan dimensi berpikir manusia yang cenderung mengacu pada idealisme. Seperti yang sudah dijelaskan, bahwa idealisme lahir dari prinsip saintifik ataupun filosofis, artinya, dimensi idealisme dibentuk dari dua dasar (yang rata-rata didominasi oleh salah-satunya) yaitu fakta-fakta fenomenologis ataupun keyakinan-keyakinan normatif. Idealisme sendiri akan menciptakan suatu output berupa visi atau bentuk deskriptif dari kehendak.

Seorang filsuf nihilisme, Nietzsche (1844-1900), menyatakan bahwa manusia yang ideal tentu memiliki kehendak, terutama kehendak untuk berkuasa. Berkuasa di sini dijabarkan oleh Nietzsche sebagai penerapan dari parameter kompetensi tertentu sehingga layak untuk diperjuangkan. Kehendak yang diperjuangkan adalah bukti dari identitas Moralitas Tuan yang diamini Nietzsche sebagai mental ideal bagi manusia yang telah hilang selama ini.

Kehendak untuk berkuasa ini dikemas dalam bentuknya yang paling ideal. Bentuk ini, secara konseptual, merupakan tema filsafat Nietzsche yang cukup terkenal, yaitu konsep manusia super atau übermensch. Übermensch sendiri berbicara tentang konsep manusia unggul yang layak memiliki otoritas dalam kehidupan.

Parameter kompetensi yang harus dimiliki olehnya adalah kemampuan seorang filsuf (epistemologis), seniman (aksiologis), dan orang suci (ontologis). Kerangka ideal untuk membentuk struktur metafisik manusia melalui kerangka filsafat.

Kewenangan yang dimiliki oleh übermensch ini yaitu bahwa mereka mampu hidup bebas dengan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan juga menciptakan nilai dan normanya sendiri. Artinya, mereka tidak terikat pada regulasi eksternal (di luar dirinya) untuk menciptakan suatu kebijakan tertentu.

Konsep ini, menurut saya pribadi, merupakan kerangka fundamental bagi manusia untuk melakukan dominasi atas pihak yang memiliki “Moralitas Budak”. Pihak ini tentu saja tak terbatas pada manusia, melainkan juga lingkungan dan biodiversitasnya.

Suatu komunitas (manusia) tentu dibentuk oleh individu. Individu memiliki gaya tarik menarik antar-frekuensi. Kesamaan prinsip berpikir filosofis dan spirit yang dianut akhirnya terintegrasi menjadi sesuatu yang semakin membesar. Sebagai contoh, konsep filsafat übermensch ini diadaptasi oleh NAZI untuk membentuk suatu identitas politik. Filsafat yang secara wajar dianut oleh individu, kini berkumpul dalam suatu wadah dan melembaga.

Saya tidak akan meninjau bagaimana NAZI berkiprah dalam pembentukan norma diri (mereka) dan implementasinya yang, katakanlah, otoritarian, melainkan saya mengambil kesamaan fondasi kehendak untuk berkuasanya, serta fondasi dominasi dari pihak yang kuat (Moralitas Tuan) pada pihak yang lemah (Moralitas Budak).

Kepribadian yang dibentuk oleh filsafat übermensch ini memberikan validasi bahwa manusia memang memiliki hasrat menguasai sesuatu, tak terkecuali lingkungan yang terbagi menjadi tiga: (1) Lingkungan Fisik (2) Lingkungan Biotik (3) Lingkungan Sosial-Budaya. Kesadaran bahwa manusia merupakan subjek pengendali atas objek-objek geosfer merupakan awal dari kemungkinan untuk melakukan identifikasi dan eksplorasi. 

Kemudian karena adanya kesadaran “menciptakan nilai dan norma” sendiri, maka public policy akan disesuaikan dengan kebutuhan. Pertentangan antara economic-growth dan environmental sustainable akan menjadi pertentangan abadi dalam kehendak berkuasa manusia individual (secara material) dan idealisme sosialis.

Ekspansi negara-negara maju pada negara-negara berkembang dan negara-negara miskin adalah bukti konkret untuk membuktikan betapa manusia (yang dipengaruhi filsafat übermensch) akan bertindak berani untuk menguasai apa yang belum dimilikinya. Misalnya saja, bagaimana Freeport dieksploitasi habis-habisan untuk kepentingan komunitas tertentu yang memiliki kekuatan (Moralitas Tuan) dari segi politik, sains, teknologi, dan sebagainya. 

Kasus-kasus serupa masih sangat banyak untuk dijadikan referensi. Saya meninjau bahwa eksplotasi tidak hanya didasarkan pada needs dan wish (keinginan yang jika berlebih menjadi keserakahan), melainkan juga dari rasa takut. Alih-alih rasa takut ini tercipta karena manusia memiliki hipotesis bahwa mereka tidak bisa bertahan hidup, ternyata rasa takut ini tercipta karena manusia tak mau berada dalam posisi inferior (Moralitas Budak).

Übermensch mendasari sikap filosofis dan psikologis manusia dalam dorongan alaminya untuk berperilaku otonom terhadap diri dan juga elemen yang mampu diraih atau dikuasainya. Kendali ini dikatakan sebagai otoritas yang kuat (karena manusia memiliki kehendak bebas) terhadap alam yang katakanlah pasif dan tidak memiliki kehendak. 

Übermensch yang dimaknai secara materialistik mampu menciptakan norma dan nilai (yang bisa berubah menjadi konstitusional) berdasarkan pada kepentingan penganutnya, baik itu pribadi maupun kelompok, kemudian memilih salah satu kecenderungan di antara economic-growth dan environmental sustainable atas dasar norma dan nilai hidup yang diciptakannya sendiri.***

Baca juga: Tanyakan Pada Cermin

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Konsep Filsafat Übermensch Sebagai Fondasi Gairah Eksploitasi Lingkungan Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan