Hot News
29 April 2021

Merenungkan Pesan Caknur: Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan

oleh: Kana Kurniawan (Ketua Umum PP Pemuda PUI)


Hari Kamis, 29 April 2021, selepas Dhuha tanpa sengaja, saya menemukan “horizon” keislaman dalam bentuk buletin terbitan 1993 yang diterbitkan BPPMI. Nama Buletinnya: BISTEK, singkatan dari Buku, Informasi, Sains dan Teknologi. Dugaannya saja buletin ini sudah jadi barang langka seperti halnya Majalah Prisma yang popular itu. Sederet cendekiawan muslim tertulis terang, jajaran Dewan Ahli diantaranya: Munawi Syadzali, Nurcholish Madjid, Fadel Muhammad. Adapun Pimipinan Redaksinya, disebut ada Djohan Effendi, Rusydi Zakaria dan lainnya.

Cover buletin ini adalah separuh photo para mahasiwa yang sedang mengepal tangan kanan ke atas dengan ikat kepala warna hijau bertuliskan teks Arab, menyerupai lafadz laa ilaaha illallah. Saya tentu tidak tahu. Siapa mereka dan dalam acara apa. Entah sengan demo atau traini penerimaan anggota organisasi mahasiswa baru. Menariknya lagi untuk saya baca buletin tersebut adalah terteranya judul tulisan Nurcholis Madjid atau Caknur: Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan dari kumpulan buku Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid ‘Muda’.

Tulisan ini masih sangat relevan dengan konteks keislaman dan keindonesiaan kita hari ini. Tentu, boleh sependapat boleh tidak dengan pandangan subjektif saya. Sebagai pembaca pikiran Caknur sejak masih kuliah di IAIN Cirebon hingga melanjutkan ke Pascasarjana UIN Jakarta. Caknur bagi saya adalah cendekiawan brilian yang paling menggugah selain Azyumardi Azra. Azra adalah guru di kelas yang selalu memancing mahasiswa mencari perspektif lain dari pandangan genuine secara kritis. Tulisan caknur dibagi tiga sub judul: Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan. 
Islam
Kata Caknur, membela golongan mustadh’afin sejalan dengan visi kemanusiaan, yakni kesejajaran manusia dan keadilan sebagai inti cita-cita Islam. Iman serta keyakinan menjadi kekuatan islam sebagai agama yang selaras dan diterima dalam menjalankan misinya. Adapun tugas Islam sendiri menurut Caknur dibagi tiga: pertama, pemurnian tauhid dengan menjauhi kepercayaan imitasi, kepercayaan yang mengakibatkan perbudakan dan pembelengguan. Dan Islam mengajak untuk mempercayai Allah SWT. 
Kedua, derajat semua manusia adalah sama. Antara hak maupun kewajibanya juga sama. Demikiannya juga membela golongan masyarakat lemah (miskin). Ketiga, akhirat adalah kehidupan pembalasan. Semua perbuatan semasa di dunia akan diminta tanggungjawabnya di sana dengan hukuman yang seadil-adilnya. Ketika di dunia hukum tidak adil, di akhiratlah hukum adil akan ditegakkan seadil-adilnya. 
Persamaan semua manusia dimaksudkan Caknur adalah teladan Nabi Muhammad SAW sebagai seorang Rasul, pemimpin yang selalu dengan orang miskin dan anak yatim piatu. Zaid bin Haritsah adalh contoh budak yang dimerdekakan beliau. Keluhuran akhlak Rasulullah SAW juga ditunjukkan saat menjadi pemimpin selepan hijrah ke Madinah. Pemimpin bijak bestari, egaliter, aspiratif dan terbuka. Karakteristik yang sangat dibutuhkan dalam kepemimpinan demokratis.
Kerakyatan
Pada konteks negara Indonesia, visi kerakyatan dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945: mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pesan konstitusi ini adalah perintah tertinggi menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial sesuai dengan keindonesiaan maupun kenegaraan. Dikatakan Caknur, para pengabai tidak pantas disebut nasionalis dan tidak juga sebagai patriotik. “Mengingkari hal itu sama dengan mengingkari cita-cita republik, sehingga dipandang sebagai sikap tidak patriotik dan nasionalis.”
Islam adalah agama yang mengajarkan prinsip keadilan. Penegakkan keadilan bagian dari cerminan orang-orang bertaqwa. Taqwa merupakan derajat tinggi dan paling mulia. Hanya orang-orang yang bersih dan berjiwa besarlah yang mampu menegakkan keadilan. Dalam pengadilan misalnya, seorang hakim harus memutus hukum secara adil walaupun kepada keluarga ataupun karib kerabat. Begitupun pemimpin yang adil. Hatinya lurus, tidak berat sebelah berbuat adil.
Sebagaimana Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 8 memberikan rambu-rambu menegakkan kebenaran dan prinsip keadilan: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Maidah: 8).
Tulis Caknur, tahun 1993, mayoritas masyarakat Indonesia bermatapencaharian sebagai petani. Mereka tinggal di desa-desa. Hanya sedikit yang ladangnya cukup, lebih banyak di bawah garis kekuarangan. Banyak diantaranya hanya sebagai petani penggarap. Disebutkan Caknur, penggarap tanpa punya tanah itu orang-orang miskin yang harus ditolong. Di saat musim panen, petani miskin ini menjual tenaganya dengan imbalan padi yang tidak cukup. Sambungan hidupnya dari menanam ubi-ubian atau jagung bahkan karena padi habis, bonggol pisangpun jadi makanan utama.
Sementara di kota, tuan tanah kerap berkasus. Muncullah kalimat: “mengambil milik saya berarti melangkahi mayat saya.” Ada kata harga diri dan bertaruh nyawa. Konflik agraria selalu berkelindan dengan tuan tanah dan rakyat yang terjepit. Tanah subur, tanah warga jadi rebutan pemilik modal. Rakyat yang kalah, lemah selalu tersingkir. Tanah direbut karena peruntukkan kebun sawit, kandangunan minyaknya berlimpah, emas atau peruntukkan sebagai pusat bisnis yang nilai tanahnnya melangit. Broker tanah, broker politik ada di sana. Suasana konflik agraria tahun 1993 hampir sama dengan Indonesia hari ini?.
Lihat catatan sejak 13 Maret 2017, ada 450 konflik agrarian dengan 1.265.027 hektar tanah konflik yang melibatkan korporasi (172 kasus), pemerintah (101 kasus) serta sesama masyarakat (16 kasus). Padahal dalam konstitusi negara, pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat tegas, pelibatan negara mewujudkan kesejahteran melalui penguasaan bumi, air dan kekayaan alam. Tanah milik negara harus dikuasai penuh dengan tujuan memberikan keadilan ekonomi-sosial bagi masyarakat. “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Negara harus jadi garda terdepan dalam pemihakan kepada rakyat.
Keindonesiaan    
Selepas melihat sosio masyarakat Indonesia secara kritis, Caknur mengajukan pertanyaan. “Apakah kita belum menemukan Indonesia? Kalau jawaban diajukan dengan sedikit emosi, tentu saja akan berbunyi “sudah!.” Amatan Caknur, Indonesia tahun 1993 masih sebagai negara tumbuh, belum selesai. Bahkan, dari aspek budaya, gambaran atribut keIndonesiaan belum terlihat. “Dari segi ini wujud kebhinekaan sudah konkrit, tetapi apakah wujud ketunggalikaannya?.” Caknur menjawabnya: keindonesiaan dalam kebudayaan nasional adalah titik pertemuan dari puncak-puncak budaya daerah.  Universalitas serta kemanusiawian budaya  adalah tameng identitas keindonesiaan. 
Sekarang, tahun 2021 apakah keindonesiaan kita masih sama dengan 1993?. Tentu saja berbeda jauh. Peristiwa yang mewarnai perjalan bangsa dari kerusuhan 27 Juli 1996, gerakan reformasi mahasiswa yang puncaknya pelengseran Soeharto pada 21 Mei 1998 telah banyak merubah identitas keindonesiaan. Cita-cita reformasi mahasiswa secara langsung atau tidak, menggugah kerja kolektif bangsa, membebaskan dari cengkraman Soeharto sebagai biang kemunduran negara. Maka mucul tuntutan reformasi: mengadili Soeharto beserta kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, hapus dwifungsi ABRI, otonomi daerah seluasnya, tegakkan supremasi hukum dan pemerintah bebas dari KKN.
Dari sekian banyak tuntutan, penegakan hukum dan HAM yang masih terlihat tebang pilih. Jurang keadilan antara si rakyat lemah dan si kuat selalu muncul jadi warna runyamnya hukum. Begitupun korupsi yang tidak pernah surut, malah semakin massif dan canggih polanya. KPK yang diharapkan jadi panglima tidak kuat berdiri tegak. Sempoyongan. Kekuatan lain jauh lebih canggih dari upaya melemahkan KPK lewat revisi UU KPK. Kembali ke soal keindonesiaan kita. Apa betul, kita masih sebagai bangsa imitasi tanpa kepribadian?
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Merenungkan Pesan Caknur: Islam, Kerakyatan dan KeIndonesiaan Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan