Penulis : Nanih Nurjanah
Dari : Komunitas Muslimah Coblong
Berbeda generasi, berbeda pula tantangannya. Tantangan yang berbeda ini kemudian melahirkan cara pandang yang berbeda pula. Salah satunya dalam hal memandang sebuah pernikahan.
Dahulu, anak muda menempatkan pernikahan sebagai tonggak kedewasaan yang harus dicapai. Bahkan, mereka yang sudah berumur 30-an, tetapi tak kunjung menikah kerap dikaitkan dengan ”keterlambatan” melepas masa lajang. Terlebih bagi perempuan, anggapan ”perawan tua” kerap kali melekat pada mereka yang tidak kunjung menemukan jodohnya.
Namun, di era saat ini tampaknya pandangan tersebut mengalami pergeseran. Salah satunya bisa dilihat dari sebuah fenomena yang belakangan ini sedang hangat diperbincangkan di media sosial, yakni mengenai generasi muda yang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah.
Narasi tersebut menggambarkan anak-anak muda cenderung menempatkan keamanan finansial sebagai prioritas utama. Mereka menggeser jauh keinginan untuk membangun keluarga atau menanggapi tuntutan sosial untuk segera menikah.
Jika ditarik mundur ke belakang, fenomena tersebut sebetulnya masih erat kaitannya dengan narasi ”ketakutan seseorang untuk menikah” atau dikenal dengan istilah marriage is scary. Salah satu yang ditakutkan setelah pernikahan ialah tuntutan ekonomi yang semakin besar.
Secara garis besar fenomena-fenomena tersebut dapat dimaknai bahwa generasi muda, terutama generasi Z, menempatkan pernikahan bukan lagi prioritas utama yang harus segera dicapai. Perubahan orientasi ini bukan sekadar tren yang mewarnai ruang narasi di media sosial, melainkan refleksi dari adaptasi mendalam terhadap realitas ekonomi dan sosial yang semakin kompleks.
Ketakutan akan hidup miskin daripada tidak menikah di kalangan generasi muda bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Ketakutan tersebut berjalan seiring dengan besarnya dorongan dari beragam faktor fundamental yang menyertainya, terutama berkaitan dengan realitas kondisi perekonomian.
Generasi muda sekarang memasuki dunia kerja dalam kondisi ekonomi yang penuh dengan ketidakpastian. Sebagian besar mengungkapkan bahwa penghasilan mereka secara rata-rata jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan generasi sebelumya pada usia yang sama. Hal ini tentu tidak terlepas dari apa yang disebut sebagai economic scarring.
”Luka ekonomi” itu merupakan kondisi yang merujuk pada kerusakan sistem perekonomian dalam jangka menengah ataupun jangka panjang sebagai akibat dari krisis ekonomi. Salah satunya krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19. ”Luka” tersebut berdampak pada potensi pertumbuhan ekonomi di masa depan yang terhambat, bahkan setelah krisis itu selesai.
Generasi muda yang takut menikah merupakan indikator kegagalan sistem sosial-ekonomi sekuler. Sedangkan dalam Islam, menikah adalah sunnah Nabi (bahkan mendekati wajib) bagi yang mampu (QS. An-Nur: 32), dan merupakan benteng menjaga agama dan moralitas.
Sistem ekonomi kapitalistik merupakan salah satu penyebab terciptanya kondisi di mana:
· Biaya hidup tinggi akibat sistem ribawi yang menekan daya beli.
· Ketidakstabilan pekerjaan (PHK mudah, upah rendah).
· Konsumerisme dipromosikan, sementara nilai keluarga direndahkan.
· Perumahan menjadi komoditas spekulasi, bukan hak dasar.
Sedangkan dari fenomena bahwa generasi muda tidak mau menikah tentu saja akan berdampak sistemik salah satunya:
1. Pernikahan ditunda hingga usia 30+ tahun.
2. Angka perzinaan meningkat (pacaran, kumpul kebo, prostitusi).
3. Fertilitas menurun, populasi aging population.
4. Stres dan depresi pada generasi muda.
Dalam sistem kapitalis negara tidak menjamin kebutuhan dasar sebagai hak rakyat,kebijakan pro-pengusaha, bukan pro-rakyat dan hukum membiarkan praktik riba dan eksploitasi.
Sedangkan dalam sistem Islam negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat, baitul mal (kas negara) mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat,larangan riba secara total dalam semua transaksi, distribusi kekayaan melalui zakat, infaq, sedekah, dan jaminan sosial negara.
Adapun pemberdayaan ekonomi melalui sistem bagi hasil (mudharabah, musyarakah).adanya subsidi perumahan bagi keluarga muda yang di ambil dari Baitul Mal dan pemimpin dalam Islam (Khalifah) bisa dimakzulkan jika gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
SOLUSI SOSIAL-BUDAYA
1. Pendidikan dan Dakwah:
· Kurikulum pendidikan yang menanamkan nilai pernikahan sebagai ibadah.
· Kampanye masif tentang kemudahan nikah dalam Islam.
· Pendampingan pranikah berbasis syariah.
2. Revitalisasi Nilai Islam:
· Menghidupkan sunnah-sunnah nikah yang sederhana.
· Konsep 'rezeki dijamin Allah' (QS. Hud: 6) ditanamkan kuat.
· Keluarga besar dan komunitas difungsikan untuk support system.
3. Masyarakat yang Supportif:
· Mengurangi beban pengantin dengan bantuan komunitas.
· Mendorong poligami bagi yang mampu sebagai solusi sosial (bukan gaya hidup).
· Menghidupkan sistem kafalah (jaminan sosial komunitas)
SOLUSI PRAKTIS JANGKA PENDEK (Dalam Sistem Sekarang)
1. Membentuk komunitas muslim mandiri:
· Koperasi syariah untuk pembiayaan pernikahan dan perumahan.
· Jaringan usaha umat untuk lapangan pekerjaan.
· Program beasiswa nikah dari lembaga zakat.
2. Advokasi kebijakan:
· Mendorong regulasi anti-riba.
· Menuntut negara menyediakan perumahan murah.
· Reformasi UU Perkawinan untuk mempermudah pernikahan.
3. Gerakan kultural:
· Pernikahan masif sederhana sebagai teladan.
· Kampanye "Nikah Mudah, Berkah Melimpah".
SOLUSI INDIVIDUAL-RUHIAH
1. Pembinaan Ketakwaan:
· Keyakinan bahwa nikah adalah separuh agama.
· Tawakal dan usaha sebagai konsep seimbang.
· Memahami rezeki bukan hanya materi tapi juga ketenangan, keberkahan.
2. Kesiapan Mental-Spiritual:
· Nikah sebagai ibadah, bukan sekadar pemenuhan kebutuhan biologis.
· Tanggung jawab sebagai khalifah dalam keluarga.
Dari pemaparan di atas terlihat jelas ketimpangan antara sistem kapitalisme dan sistem Islam, maka Islam menawarkan solusi kaffah:
1. Mengganti sistem ekonomi ribawi dengan ekonomi Islam yang berkeadilan.
2. Negara yang bertanggung jawab menjamin kebutuhan dasar, termasuk memudahkan pernikahan.
3. Masyarakat yang hidup nilai Islam, saling menolong, bukan individualistik.
4. Individu muslim yang bertawakal, yakin dengan jaminan Allah.
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
"Dan hendaklah orang-orang yang tidak mampu menikah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberikan kecukupan kepada mereka dari karunia-Nya."(QS. An-Nur: 33)
Ayat ini menunjukkan peran aktif negara/masyarakat ("hendaklah mereka menjaga kesucian") dan jaminan Allah ("sampai Allah memberikan kecukupan"). Dalam sistem Islam, negara bertindak memastikan kondisi yang memungkinkan generasi muda menjaga kesucian sambil memudahkan jalan menuju pernikahan.
Hanya dengan sistem Islam kaffah, generasi muda akan kembali memandang pernikahan sebagai kemuliaan, bukan beban; sebagai solusi, bukan masalah.***

0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.