Hot News
26 Maret 2020

Cerpen: "Di Ujung Malam"

“Ketika kau tak sanggup melangkah, hilang arah dalam kesendirian.
Tiada mentari bagi malam yang kelam. 
Tiada tempat berlabuh. 
Bertahan terus berharap.
Allah selalu di sisimu”.
(Maher Zain)


Jangan menangis, simpan tangis itu untuk malam nanti saat semua orang sudah terlelap tidur. Ketika semua pintu telah diperiksa dan tidak ada satu pun yang tersisa mendengar.

Menepiskan gorden dengan kedua jari sambil mengintip kembalinya harapan mengetuk pintu lalu masuk dan mengubah hidup. Itukah yang selama ini kau tunggu?

Handuk masih membuntal rambutnya yang basah. Di depan cermin, memantullah wajah yang selalu berusaha terlihat tersenyum. Diraihnya tas kecil berisi seperangkat pembersih muka. Pagi sudah tiba dan malam tidak boleh lagi terendus aromanya. Anggap saja tidak pernah terjadi apa pun.

Roda hidup sering kali berputar terbalik arahnya. Itu terjadi ketika perempuan yang disebut tulang rusuk, berubah peran menjadi tulang punggung keluarga. Entah energi dari mana, segala yang sulit dan berat, bahkan nampak mustahil ternyata mampu dihadapi.

Dinyalakannya sebatang rokok, saat pasti tiada yang mengamati. Segelas kopi yang mulai dingin tetap dinikmati pelan. Tatapannya kadang menunduk, kadang menelisik jalan besar yang membentang penuh lalu-lalang kendaraan. Asbak fiber berwana putih penuh sisa batang-batang kemarin yang belum sempat dibuang dan dibersihkan.

Toko masih lengang, sudah berjam-jam menunggu tidak seorang pun menepi, selain seekor kucing liar yang kerap mampir menunggu sisa makanan. Diletakannya hp di lantai sambil menanti percakapan dengan puteranya di luar kota memberi kabar.

Bertahun sudah lelakinya pergi dan tidak akan pernah kembali. Semua menjadi kosong seperti ruangan tanpa apa pun di dalamnya. Bumi yang terdiam seolah bergoncang memutar-balikan langkah kaki. Anak-anak butuh makan dan sekolah, lalu siapa yang harus berjuang? Kau tidak akan faham, kau tidak akan mengerti seumpama diceritakan dengan seribu puisi sekali pun. Kau tidak akan faham.

Kadang terbersit tawaran dari keluarga dan kawan, supaya hidup tidak dihadapi sendiri. Sudah waktunya kawin lagi dan menjadi perempuan normal seperti yang lain. “Hahahaaaaaa..... mungkinkah setua ini masih bisa jatuh cinta? Sudahlah jangan bercanda kelewatan”. Seumpama itu benar sekali pun, tidak semudah itu. Semua sudah tidak sama. Hati yang pernah terluka kerena kehilangan orang yang dicintai, seumur hidup tidak akan pernah utuh kembali. Tidak semudah itu mencari lelaki dan kawin lagi. “Kau pikir....”

Sore menjelang, hujan menutup pandangan. Dan tidak ada seorang pun yang mampir ke toko. Dibukanya lagi nasi bungkus yang tadi siang belum habis dimakan. Sepotong lauknya diberikan kepada kucing liar yang sedari tadi menatapnya.

Gelas kopi yang sudah mengering dituangi air termos yang telah menjadi suam, lalu direguknya dengan dahaga. Hari sudah gelap, sambil menunggu hujan reda setelah itu toko tutup. Dibukanya kembali galeri foto di hpnya. Hanya satu yang dirindukan....anak-anaknya tumbuh jadi orang.

Dipasangnya headset sambil menyalakan mp3. Hujan sepertinya lama reda. Mengalun dengan lembut musik itu memberinya kekuatan:”Insha Allah...Insha Allah...Insha Allah you’ll find you way. Insha Allah...Insha Allah...Insha Allah ada jalan”. 

Hujan semakin besar dan malam sebentar lagi. Kau tidak akan faham.

Pertengahan Maret 2020 saat corona melanda
Ki Pandita

Baca juga: 

Para Lelaki di Titik Minus

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: Cerpen: "Di Ujung Malam" Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan