Hot News
14 November 2023

“Angklung”─ Dari Citangtu Ke Unesco

 



Oleh Drs. Dodo Suwondo, M.Si.

 

Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia asal tanah Sunda, Jawa Barat. Angklung terbuat dari bambu dan dibentuk dalam berbagai ukuran menyerupai pipa. Dalam sebuah angklung terdapat dua sampai empat tabung bambu yang digantung dalam bingkai bambu dan diikat dengan tali rotan. Setiap angklung menghasilkan satu nada atau akord. Sehingga, untuk menciptakan melodi yang indah beberapa orang harus memainkan angklung bersamaan.

 

Berdasarkan catatan sejarah, angklung muncul pada abad ke-12 yakni pada masa Kerajaan Sunda. Tradisi bermain angklung terus diajarkan secara turun-temurun. Permainan angklung erat kaitannya dengan adat istiadat karena dimainkan saat upacara penanaman padi, panen, dan khitan (tim | CNN Indonesia). Diyakini keberadaan angklung pada saat itu adalah merupakan alat pendukung ritual pertanian, khususnya ketika hendak menanam padi dan pada saat panensebagai wujud penghormatan kepada Dewi Pohaci atau Pohaci Sanghyang Sri (Dewi Padi).

 

Berjalannya waktu─menentukan bahwa musik angklung kini bukan hanya sekedar musik sakral yang hanya mengiringi tradisi pertanian saja, namun sudah menjadi musik yang bernilai tinggi─musik yang dapat dipergelarkan bukan hanya pada acara-acara resmi dan formal namun juga sebagai musik hiburan.

 

Tak dapat dipungkiri bahwa Daéng Soetigna-lah yang memperkenalkan angklung ke dunia internasional, dan kini telah tercatat di UNESCO. Sebagaimana disampaikan tim “Angklung resmi diakui UNESCO pada 2010. Angklung masuk dalam warisan budaya takbenda atau Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity”  (tim | CNN Indonesia).

 baca: Pa Daeng Ciptakan Angklung 'Modern' Diatonis di Kuningan

Tahun 2018 pada acara festival angklung di kawasan Gedung Naskah Linggarjati, Kuningan mendeklerasikan bahwa Kuningan adalah Kabupaten Angklung. Hal tersebut sangatlah masuk akal mengingat beberapa fakta menyebutkan bahwa Anu mokalan nyieun angklung diatonis téh Daéng Soetigna (baca: Daéng Sutigna), dina taun 1930-an, di Kuningan.” (Tatang Sumarsono, Daeng Soetigna Bapa Angklung Indonesia). Ini bukti bahwa waditra angklung yang bernada diatonis dimulai dari Kuningan oleh salah seorang ahli seni dan guru kesenian yang bernama Daéng Soetigna.

 

Selanjutnya “Daéng mimiti ngulik pikeun ngarobah nada angklung téh ti umur lilikuran, waktu keur jadi guru di Kuningan.” (Tatang Sumarsono). Fakta ini diceritakan bahwa Daeng Soetigna sengaja menemui Pa Jaya, seorang ahli membuat angklung. Dalam cerita berikutnya “Daeng meunang raratan yén anu sok nyieunan angklung téh ngaranna Pa Jaya. Cenah baheulana kungsi jadi panayagan. Nya ka dinya Daeng nepungan.” (Tatang Sumarsono).

 

Iin Suheli mengemukakan pendapatnya dalam Kuningan 'Rumah Pertama' Angklung, bahwa; “Daeng Sutigna, belajar membuat angklung, mulai dari memilih bambu yang tepat, sampai menyesuaikan nadanya hingga pas, kepada pak Kucit, Kuwu Citangtu pada masa itu. Pak Daeng Sutigna lalu berinovasi dengan mengubah nada angklung dari pentatonis (nada tradisional) ke diatonis”. (Iin Suheli, Kuningan 'Rumah Pertama' Angklung)

.

Menurut Edi Kusnadi S.Sn. dalam “Bukan Daeng Soetigna Pencipta Angklung, Tapi Pak Kucit” mengatakan bahwa “anggapan selama ini Daeng Soetigna adalah pencipta angklung salah. Karena sebenarnya yang benar adalah Pak Kucit.“Pak Kucit itu yang mengenalkan angklung dari nada pentatonis (da-mi-na-ti-la-da) ke diatonis (do-re-mi-pa-so-la-si). Sekali lagi Pak Daeng hanya muridnya dan mengembangkan di Bandung setelah beres acara peringatan HUT Perundingan Linggarjati, tandas Edi yang merupakan warga Citangtu asli dan masih ada keturunan dari Pak Kucit kepada kuningamass.com, Jumat (16/11/2018)” (Agus Mustawan).

 

Selanjutnya Mang Ucup dalam Daeng Soetigna Bapak Angklung Indonesia mengemukakan bahwa Pak Daeng ternspirasi oleh dua orang pengemis yang memainkan angklung: “Inspirasi datang ketika ada dua orang pengemis memainkan lagu cis kacang buncis di depan rumah Pak Daeng dengan memakai angklung. Pak Daeng sangat tertarik dan langsung membeli angklung dari pengemis itu. Angklung tersebut bernada pentatonis (nada tradisionil sunda). Padahal, agar dapat digunakan untuk mengajar seni musik barat, maka diperlukan alat musik bernada diatonis. Karena itulah Pak Daeng bertekad membuat angklung diatonis. Pak Daeng kemudian bertemu dengan Pak Djaja, seorang empu pembuat angklung yang mumpuni. Walau sudah tua dan sebelumnya hanya tahu musik pentatonis, Pak Djaja dengan senang hati membantu Pak Daeng membuat angklung diatonis. Atas kerjasama mereka berdua, terciptalah alat musik pribumi yang mudah dibuat, dan murah. Hal itu terjadi pada tahun 1938”. (Mang Ucup, Menetap di Amsterdam, Belanda)

 

Dari beberapa pendapat di atas hampir semua sepakat bahwa pembuatan angklung yang bernada diatonis dimulai dari Kuningan. Baik Tatang Sumarsono, Iin Suheli, Edi Kusnadi S.Sn., maupun Mang Ucup mengatakan bahwa Daéng Soetigna belajar membuat angklung adalah di Kuningan. Tentang kepada siapa

 

Fakta lainnya cerita Drs. Slamet Siregar (Alm.) mantan pegawai (PNS) di BAPPEDA Kabupaten Kuningan) dan terakhir merupakan salah seorang pejabat echelon IV di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil bahwa dirinya sering aktif latihan memainkan angklung di aula Radio Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan─sekarang Kuningan FM. Hal inilah yang memperkuat bahwa di Kuningan musik angklung pernah berjaya.

 

Berikut ini hasil analisa tentang angklung dengan siapa Pa Kucit, siapa Pa Jaya dan siapa Daeng Soetigna?

 

ANALISA PERTEMUAN DAENG SOETIGNA – PA KUCIT/ PA JAYA

Nama Tokoh

Lahir

Wafat

Keterangan

Daeng Soetigna

Garut, 13 Mei 1908

April 1984

 

Muhammad Satari

(Pa Kucit)

Kuningan,

7 September 1904

8 Desember 1988

 

Pa Jaya

?

?

 

 

Daeng Soetigna

  lulus sekolah di Kweekschool, taun 1928

  tahun 1930-an, guru di HIS (sekolah dasar zaman Belanda) di Kuningan Jawa Barat

  Daeng Soetigna bertemu dengan tukang jajaluk yang ngamen menggunakan angklung

  Daeng Soetigna membeli angklung ka tukang jajjaluk

  Daeng Soetigna bertemu Pa Jaya (versi Bandung), pengrajin angklung dari Citangtu (versi Bandung) dan berguru membuat angklung kepadanya

  Daeng Soetigna membuat angklung dengan menggunakan nada diatonis (do, re, mi, ....)

  Tahun 1938, di Bandung diadakan padvinders rally yang diprakarsai oleh POP (Padvinders Organisatie Pasundan, lembaga kapanduan (= Pramuka; sekarang) di lingkungan Paguyuban Pasundan). Daeng Soetigna dipercaya memimpin rombongan pandu Kabupatén Kuningan.

  Tahun 1938 (tahun yang sama), sepulang Daeng Soetigna dari padvinders rally Pa Jaya meninggal dunia

  tahun 1946, Perundingan Linggarjati, musik angklung dipergelarkan untuk menghibur tamu nagara

  Taun 1948, jaman Republik Indonesia Serikat (RIS),  Daeng Soetigna pindah ka Bandung,

  taun 1950-an, Daeng Soetigna melanjutkan  sekolah ke B-1  Jurusan Seni Suara

  taun 1955 musik angklung dipergelarkan pada Konferensi Asia Afrika (18 – 24 April 1955); Pembukaan Colombo Plan; dan Pembukaan PON ka V di Stadion Siliwangi,  

  taun 1964 dari Direktur Kokar (= SMKI/SMK N. 10, sekarang)

  taun 1968 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengeluarkan SK No. 082/1968, yang menegaskan bahwa angklung diposisikeun menjadi jadi alat pendidikan musik.

  Daeng Soetigna wafat pada bulan April 1984.

 

Tentang Muhammad Satari (Pa Kucit)

  menurut ahli waris Pa Kucit (1) Subagja, cucu (incu ti gigir) Pa Kucit; (2) Yeni, cucu angkat Pa Kucit menjelaskan bahwa:

1) Pa Kucit tidak punya keturunan (gabug);

2) Pa Kucit adalah kakak kandung Pa Jaya;

3) Pa Kucit seorang seniman dan memiliki keahlian dalam membuat berbagai alat musik;

 

Tentang Pa Jaya

  menurut ahli waris Pa Kucit; (1) Subagja, cucu (incu ti gigir) Pa Kucit; (2) Yeni, cucu angkat Pa Kucit menjelaskan bahwa:

1) Pa Jaya adalah adik kandung Pa Kucit;

2) Pa Jaya adalah pengrajin seni kriya (mébelér) terutama yang berbahan baku bambu dan kayu;

  menurut Tatang Sumarsono Pa Jaya adalah seorang panayagan yang umurnya sudah tua. Harita Pa Jaya téh geus kolot pisan, geus rada torék bari mimiti pikun.”

 

Beberapa hal yang perlu diluruskan:

1. Daeng Soetigna, lahir di Garut, 13 Mei 1908,  wafat April 1984 pada usia 76 tahun (Tatang Sumarsono);

2.  Pa Kucit, lahir di Kuningan, 7 September 1904, wafat  8 Desember 1988 pada usia  84 tahun (Subagja & Yeni);

3.  Selisih usia Daeng : Pa Kucit, adalah 1904 : 1908 = 4 tahun

4.  tahun 1930, Daeng Sutigna menjadi guru HIS di Kuningan usia keduanya pada saat itu:

a. Daeng Soetigna, 22 tahun

b. Pa Kucit, 26 tahun

5.  Pa Jaya adalah adik kandung Pa Kucit (Subagja & Yeni)

6.  Pa Jaya (1930-an) adalah seorang wiyaga atau pangrawit

 ... Cenah baheulana kungsi jadi panayagan ... Harita Pa Jaya téh geus kolot pisan, geus rada torék bari mimiti pikun. Tapi ari ku keyeng mah, Daeng teu burung bisa mulungan élmuna. Ku Pa Jaya diterangkeun naon nu disebut rancak, sundung, pupurus, katut istilah-istilah séjénna dina waditra, hususna angklung. Lian ti éta, Daeng diajar lalaguan Sunda buhun, kayaning “Tonggérét”, “Balaganjur”, jeung “Kacang Buncis” minangka kostimna angklung. (Tatang Sumarsono)

7.  Taun 1948, masa Republik Indonesia Serikat (RIS), Daeng pindah ke Bandung,

 

Tentang Pergelaran Angklung Diatonis

8.  Pak Kucit itu yang mengenalkan angklung dari nada pentatonis (da-mi-na-ti-la-da) ke diatonis (do-re-mi-pa-so-la-si) pada acara peringatan HUT Perundingan Linggarjati (yang ke ...?); (Edi Kusnadi; Agus Mustawan <= Pergelaran angklung pertama). Selanjutnya Edi tak menjelaskan kapan pagelaran berikutnya (kedua, ketiga, dan seterusnya).

9.  Taun 1938, Pa Daeng mengenalkan angklung diatonis di Bandung pada acara padvinders POP (Padvinders Organisatie Pasundan. <= Pergelaran angklung pertama

10. Pada saat Perundingan Linggarjati, tahun 1946 (11 hingga 13 November 1946), musik angklung dipergelarkan kembali di hadapan para delegasi (Tatang Sumarsono); <= Pergelaran angklung kedua

11. Pada tahun yang sama (Desember 1946) pada acara perpisahan dengan Laksamana Mountbatten, Panglima Sekutu di Asia Tenggara di Jakarta angklung Pa Daeng kembali dipergelarkan (Tatang Sumarsono); <= Pergelaran angklung ketiga

12. Tanggal 24 April 1955 pergelaran angklung di Gedung Merdeka, Jl. Asia Afrika (sekarang) pada acara menyambut tamu Konferensi Asia Afrika (Tatang Sumarsono); <= Pergelaran angklung keempat

 

 

Garis Keturunan Pa Kucit (Muhammad Satari)

 

Samaratungga

Lauda bin Samaratungga

Cimon bin Lauda

Martakrama bin Cimon

Natadiraksa + Sarep

Muhammad Satari

(catatan Deri Akbar Tandiat)

 

Beberapa kemungkinan:

Kemungkinan nama Jaya dalam catatan Tatang Sumarsono dinyatakan sudah tua, bisa identik dengan:

  Jaya adalah nama lain dari ayah atau kakek Pa Kucit (Natadiraksa atau Martakrama);

  Nama salah seorang Kuwu sebelumnya (sebelum Pa Kucit menjadi Kuwu);

  Pa Jaya bukan adik Pa Kucit (Muhammad Satari) melainkan kakanya yang sudah lebih dahulu menjadi Kuwu Citangtu sebelum Muhammad Satari;

  Mengingat usia Pa Kucit dengan Pa Daeng Soetigna tidak berapa jauh, hanya terpaut 4 tahun, ada kemungkinan kedua-duanya sama-sama membelajari angklung kepada Pa Jaya.

  Ada kemungkinan nama Muhammad Satari sengaja disembunyikan dan yang muncul adalah nama Jaya mengingat Pa Kucit (Muhammad Satari) selalu dicari-cari oleh Pemerintah Belanda. Nama Kucit-pun adalah akronim dari Kuwu Citangtu adalah agar tidak ketahuan oleh Belanda. Pernah terjadi ada kurier Belanda bertanya langsung kepada Pa Kucit─menanyakan Muhammad Satari:

Kurier Belanda : Di mana rumahnya Muhammad Satari?

Pa Kucit            : Euweuh ngaran Muhammad Satari di dieu mah aya ogé Si Kucit. (wawancara dengan Yeni)

Akhirnya siapapun itu─Pa Jaya atau Pa Kucit, angklung yang bernada diatonis lahir di Kuningan berkat kerja samanya dengan Daeng Soetigna.

 

DAYA DUKUNG KABUPATEN ANGKLUNG

1. Museum Angklung Pa Kucit

Pada tahun 2017 Kabupaten Kuningan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan  telah mendeklarasikan bahwa Kuningan adalah kabupaten angklung. Hal ini mengingat bahwa salah seorang tokoh masyarakat yang bernama H. Muhamad Satari atau disebut juga Pa Kucit (Kuwu Citangtu) ikut andil mempromosikan waditra angklung ke dunia luar bersama Daeng Soetigna, seniman dan guru kesenian asal Garut yang pernah mengabdi sebagai guru HIS di Kabupaten Kuningan pada tahun 1930-an. Dapat dimungkinkan antara Daeng Soetigna dan Pa Kucit atau Pa Jaya mereka saling berguru.

Pa Kucit berkedudukan di Desa Citangtu (sekarang; Kelurahan). Rumah beliau masih ada dan masih utuh yang saat ini dijadikan tempat tinggal oleh ajli warisnya. Rumah tersebut berdampingan dengan rumah adiknya yang bernama Pa Jaya. Dan, menurut Tatang Sumarsono (budayawan; Bandung) bersama Pa Jaya-lah Daeng Soetigna bekerja sama menciptakan waditra angklung yang bernada diatonis.

 

Rumah Pa Kucit (dok. Azhar)

 

Oleh karena itu rencana perwujudan rumah tinggal Pa Kucit dialihfungsikan sebagai Museum Angklung yang telah diirintis oleh Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan pada  tahun 2020 harus segera terwujud. Selain peralihan fungsi rumah tinggal Pa Kucit (H. Muhamad Satari) menjadi “Museum Angklung Pa Kucit”, tentu harus dilengkapi dengan infrastruktur lainnya─akses jalan, tempat parkir, juga harus dibangun, termasuk penambahan daya listrik untuk penerangan dan kebutuhan lainnya.

 

2. Monumen Angklung atau Monumen Pa Kucit

Berkaitan dengan rencana peralihan fungsi rumah tinggal Pa Kucit (H. Muhamad Satari) menjadi “Museum Angklung Pa Kucit” ada hal lain yang tak kalah pentingnya, yaitu pembangunan monumen yang berkaitan dengan ketiga tokoh (Pa Kucit atau Pa Jaya dan Pa Daeng Soetigna)  tersebut.

Pembangunan monumen tersebut juga berkaitan dengan rencana Kuningan sebagai Kabupaten Angklung.

Pembangunan monumen atau tugu angklung pun telah dirintis oleh Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kuningan pada  tahun 2020 bersamaan dengan penetapan “Museum Angklung Pa Kucit”. Oleh karena itu pada tahun 2024 diharapkan monumen atau tugu angklung dapat direalisasikan.

 

3. Komunitas/masyarakat Pengrajin dan Lokasi Pengrajin Angklung

Sebuah daerah dikenal dengan “sesuatu”-nya karena memang di daerah tersebut ada “sesuatu”, misalnya Sumedang dikenal karena tahunya maka tersebut disebut disebut “tahu sumedang” dengan segala perbedaannya dengan tahu dari daerah lain─termasuk di Kuningan dikenal “tahu lamping”nya karena produsen tahu di Kuningan adalah penduduk wewengkon Lamping. Demikian juga “peuyeum ketan” Tarikolot, “kasreng” Luragung, karena para produsennya satu komplek di wewengkon tersebut.

Kuningan yang mencanangkan sebagai Kabupaten Angklung tentu harus memperhatikan beberapa faktor, diantaranya faktor sejarahada peristiwa apa dalam sejarah tentang angklung tersebut, siapa tokohnya, bagaimana tokoh tersebut bisa dikatakan tokoh angklung, apa perannya?

Adapun faktor-faktor lainnya adalah:

1) Sejauh mana keberadaan dan perkembangan angklung di Kuningan?

2) Adakah di Kampung, Desa, atau wewengkon tersebut terdapat pengrajin atau industri rumah tangga angklung? Paling tidak 10 - 5% pengrajin angklung─tidak cukup oleh satu orang pengrajin sebagai usaha pribadi.

3) Apakah musik angklung memasyarakat?

4) Bagaimana volume pemasaran musik angklung dalam unit per minggu, per bulan, per tahun?

5) Sejauh mana keberadaan angklung dikenal di luar Kuningan?

Faktor-faktor inilah yang perlu dijawab, jika belum maka kita harus menyiapkannya agar Kuningan sebagai Kabupaten Angklung bisa terwujud dan keberadaannya dapat dipertanggungjawabkan.

 

4. Galeri Angklung

Menyematnya Kuningan sebagai Kabupaten Angklung tentu harus dibarengi dengan berbagai bukti lain sebagai pendukung. Hal tersebut demi membuktikan bahwa Kuningan benar-benar sebagai daerah dimana angklung pernah dan masih hidup di tengah-tengah modernisasi.

Unsur penting untuk mendukung Kuningan sebagai Kabupaten Angklung diantaranya adalah Galeri atau Sanggar Angklung yang di dalamnya terdapat:

▪ Bengkel tempat pembuatan dan perakitan alat musik angklung;

▪ Ruang tempat memamerkan waditra angklung. dan

▪ Ruang tempat pelatihan memainkan musik angklung.

 

5. Pemasyarakatan Angklung

Selain keempat poin di atas sangat perlu diperhatikan bagaimana memasyarakatkan waditra angklung?

Ada beberapa kiat yang dapat dilaksanakan untuk memasyarakatkan waditra angklung di Kuningan, pertama memberikan himbauan ke persekolahan semua jenjang agar memiliki waditra angklung sekaligus nenainkannya; kedua menghimbau semua desa/kelurahan agar memiliki waditra angklung sekaligus nenainkannya; dan ketiga adakan pameran angklung sekaligus festival angklung yang diikuti oleh semua jenjang pendidikan dan komunitas.

 

*****

 

 

  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar...
- Harap sesuai dengan Konten
- Mohon Santun
Terimakasih Telah Memberikan Komentar.

Item Reviewed: “Angklung”─ Dari Citangtu Ke Unesco Rating: 5 Reviewed By: SuaraKuningan